A. Pendahuluan
Pendidikan dan pembelajaran adalah satu proses transformasi nilai budaya dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. Ada tiga kata kunci dari kalimat di atas, yakni proses,
nilai dan generasi. Proses menunjukkan adanya satu kegiatan atau
aktivitas, maka dalam pendidikan dan pembelajaran terdapat rangkaian
dari berbagai kegiatan tentunya mempunyai tujuan. Kemudian nilai
menunjukkan ada sesuatu makna yang dijaga, disimpan dan dipelihara, dan
tugas pendidikan adalah mentransformasikan nilai tadi dari satu keadaan
kepada keadaan lain dalam arti luas. Dan terakhir adalah generasi ini
menggambarkan ada satu masa depan manusia yakni penciptaan alih generasi
yang lebih baik sebagaimana yang diinginkan.
Dalam pendidikan dan
pembelajaran, kegiatannya dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan
oleh siapa saja. Inti kegiatan pendidikan dan pembelajaran bukan pada
tempat atau waktu, atau siapa yang menjadi guru, akan tetapi lebih
ditekankan pada adanya satu interaksi antara peserta dengan lingkungan
atau sumber belajar, dimana dalam interaksi tersebut sarat dengan makna:
proses, nilai dan generasi. Pendidikan luar sekolah merupakan satu
alternatif untuk hal ini, menurut Santoso S.H (2003)[1] bahwa peran
utama PLS adalah mengembangkan nilai dan sikap percaya diri dan mandiri
masyarakat sebagai kekuatan sosial (social forces) untuk menciptakan
proses proses demokratis, dinamisasi dan modernisasi. Berkenaan dengan
itu, maka kegiatan yang paling luwes dan praktis tentang hal di atas,
ditengah tengah masyarakat kita khususnya di dunia kepemudaan disebut
dengan pelatihan.
Bagaimana merancang atau
mendesain pelatihan bagi pemuda secara baik dan tepat, yang dapat
bermakna, kemudian apasaja yang dibutuhkan dan dikembangkan, serta
bagaimana mengukur keberhasilan dari pelatihan tersebut? Tentu hal ini
penting bagi kita. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi
para pamong belajar, atau kelompok pemuda dalam mengembangkan desain
pelatihan, dan akan bermanfaat bagi mereka yang ingin menjadikan pemuda
sebagai satu “icon” regenerasi yang baik di masa depan.
B. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan
adalah bagian dari upaya pengembangan sumber daya manusia. Banyak hal
yang dapat dilakukan orang untuk melakukan investasi bagi sumber daya
mansia di masa depan, salah satunya adalah dengan pendidikan, pelatihan
dan pengembangan. Pengembangan sumber daya manusia menurut Abi Sujak
(1990)[2] dapat dilakukan dengan tiga hal yakni; pelatihan (training),
pendidikan (education), dan pengembangan (development). Masing masing
kegiatan tersebut tentu memiliki karakteristik tersendiri yang dengannya
menjadi satu kekuatan untuk mengembangkan sumber daya manusia baik pada
karakteristik input kegiatan, pengelolaan proses, pengembangan strategi
kegiatan, maupun pada tujuan yang ditetapkan.
Dalam pendidikan kadang terdapat
kegiatan latihan, dan dalam pelatihan di dalamnya ada proses
pendidikan, jadi hampir sulit untuk memisahkan keduanya, maka pada
sistem birokrasi di Indonesia terdapat satu unit kegiatan pendidikan dan
latihan disingkat “diklat”. Menurut HAR.Tilaar (1997)[3] bahwa terdapat
hubungan antara pendidikan, pelatihan dan ketenagakerjaan. Dimana;
pendidikan ikut mempersiapkan dasar dasar yang diperlukan oleh dunia
kerja, dan tidak membebaskan pendidikan dalam mutu tenaga kerja yang
diperlukan, maka perlu diselenggarakan suatu lembaga dengan kegiatan
kegiatan yang memenuhi tuntutan dunia kerja. Lembaga tersebut, yang
dapat kita sebut lembaga pelatihan, haruslah diselenggarakan
bergandengan dengan sitem pendidikan yang ada. Sedangkan menurut
B.Siswanto (2003)[4] pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar
sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan
dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori. Pembahasan
berikut lebih mengarah pada makna pelatihan sebagai sebuah proses
pendidikan alternatif yang banyak dilakukan ditengah tengah masyarakat
khususnya kepemudaan.
C. Desain Pelatihan
Desain
berasal dari kata “designe” dapat diartikan sebagai fatron, rancangan
pola atau kisi kisi kegiatan yang akan dilaksanakan. Design (desain),
adalah proses menspesifikasi kondisi belajar, juga merupakan satu
kawasan dalam bidang teknologi pembelajaran. Lebih spesifik lagi “design
criteria”: adalah satu rincian diskripsi pengajaran tertulis secara
lengkap yang dipakai untuk mengembangkan komponen sistem instruksional
yang mencakup setiap kejadian kegiatan, tahapan dan strategi
instruksional secara keseluruhan untuk disajikan melalui masing masing
komponen sistem instruksional dari satu sistem instruksional atau produk
instruksional secara lengkap.
Berkenaan dengan hal di atas,
Atwi Suparman (1997)[5] menjelaskan bahwa; desain Instruksional,
pengembangan instruksional, perancangan instruksional, atau perencanaan
instruksional, adalah suatu proses yang sistematik dalam menyusun sistem
instruksional yang efektif dan efisien melalui kegiatan
pengidentifikasian masalah, pengembangan dan pengevaluasian.Dalam desain
terdapat berbagai informasi tentang data dan keterangan sebuah
kegiatan, untuk itu George (2000)[6] mendefinisikan pengertian Desain
Document sebagai berikut; a conceptual report that gives all those
involved in the development of a training program a picture of the
overall course design. Items might include a mission statement, an
audience profile, course objectives, content outline, a course map, an
evaluation plan, and visual motif.
Sementara itu Sondang P.Siagian
(1987)[7] Komponen utama dari suatu siklus pendidikan dan latihan
adalah: (1) Analisa kebutuhan pendidikan dan latihan, (2) Keputusan
tentang penyelenggaraan pendidikan dan latihan, (3) Seleksi peserta, (4)
Penyusunan program, baik yang sifatnya kurikuler maupun ekstra
kurikuler, (5) Penyusunan bahan pelajaran yang benar benar disesuaikan
dengan kebutuhan organisasi, (6) Seleksi pengajar, (7) Penentuan teknik
dan metode pengajaran, (8) Penyusunan program pelaksanaan, (9)
Penyelengaraan dan, (10) Evaluasi hasil kegiatan pendidikan dan latihan.
Walter Dick & Low Carey
(1990)[8] merancang sistem instruksional melalui beberapa tahap, yaitu
(1) identifikasi tujuan terminal, yang didasarkan atas analisis
pekerjaan, (2) analisis instruksional, yaitu keterampilan keterampilan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan terminal, (3) identifikasi
karakteristik peserta dan kemampuan awal peserta, (5) pengembangan alat
ukur keberhasilan belajar peserta, (6) pengembangan strategi
instruksional yang diperlukan untuk mencapai tujuan tujuan khusus
tersebut, (7) penentuan materi/bahan yang akan diberikan, (8)
pelaksanaan evaluasi formatif melalui uji coba perorangan dan skala
kecil serta besar, dan (9) revisi apabila diperlukan.
Pelatihan sebagai sebuah sistem
sama halnya dengan pembelajaran, dimana analisis terhadap karakteristik
awal calon peserta merupakan bagian penting yang harus diperhatikan,
kemudian pemilihan materi, media serta strategi sekaligus penetapan
tujuan pelatihan yang akan dicapai. Sementara itu Oemar Hamalik
(2001)[9] menjelaskan tentang tahap tahap penyusunan program pelatihan
mempunyai langkah langkah yang lebih rinci, sebagaimana dapat dilihat
pada kutipan berikut:
1) Menetapkan klasifikasi pekerjaan, kemudian menyusun suatu deskripsi pekerjaan lengkap dengan tugas tugas secara rinci;
2)
Identifikasi kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut, yang terdiri dari perangkat keterampilan dan
pengetahuan tertentu;
3) Penyiapan program pelatihan secara jelas, rinci, dan sistematik;
4) Menetapkan metode dan tempat penyelenggaraan pelatihan dan materi pelatihan;
5) Review program pelatihan dengan mengikutsertakan pengawasan dan manajemen puncak;
6) Mempersiapkan para pelatih (instruktur);
7) Menyiapkan peserta pelatihan melalui prosedur seleksi tertentu; dan
8) Mengembangkan prosedur penilaian (evaluasi) dan tindak lanjut.
Ada tiga hal yang menjadi elemen
penting dalam desain pelatihan yakni; input, proses dan out put. Input
dapat dikembangkan dengan menata karakteristik calon peserta pelatihan,
tujuan yang akan dicapai dari pelatihan. Sementara proses adalah upaya
pengembangan pengeloalan pelatihan baik strategi, metode, teknik,
pengembangan media dan lain sebagainya. Kemudian yang terakhir adalah
output dalam hal ini penetapan sistem evaluasi yang akurat akan sangat
menentukan desain pelatihan yang mampu mengembangkan nilai apa yang
diinginkan oleh pelatihan tersebut.
Dalam menyusun desain pelatihan
didalamnya terkait dengan sistem serta bahan ajar yang akan disampaikan,
serta peyesuaian dengan karakteristik peserta didik. Dalam hal
mengembangkan bahan ajar, maka Philip H.Coombs (1973)[10] menjelaskan
untuk mengukur kebutuhan pendidikan anak anak, dan pemuda di daerah
pedesaan dan untuk merencanakan kegiatan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, pertama tama kita harus memiliki kejelasan dan
konsepsi yang realistik tentang kebutuhan belajar penting minimum.
Sebuah desain yang baik memuat
berbagai unsur pembelajaran yakni rancangan materi atau bahan ajar yang
akan dikembangkan dalam kegiatan, begitu juga strategi dan cara
penyampaian materi dan bahkan evaluasi dari kegiatan.
Dari bahan belajar ini, maka
ditata kegiatan yang dapat merubah watak dan karakter warga belajar,
karena inilah salah satu tujuan dari pendidikan luar sekolah. Perubahan
pada peserta belajar ini memang sangat penting karena indikator
terjadinya proses belajar adalah adanya perubahan.
Sementara itu Satmoko dan
Soejitno (2004)[13] sebuah desain pelatihan paling tidak harus
menggambarkan lima hal yakni: (1) tujuan pelatihan harus ditetapkan
dengan cermat, untuk apa orang dilatih, (2) pemilihan metode pelatihan
secara tepat merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan sebuah
pelatihan, (3) penyusunan jadwal, jadwal pelatihan mencakup waktu dan
tempat penyelenggaraan pelatihan, (4) instruktur yang berkualitas, jika
menginginkan pelatihan dilaksanakan ing-griya/in-house training maka
harus dipersiapkan beberapa orang manajer dari berbagai latar belakang
ilmu, dan (5) evaluasi, yaitu meliputi sistem pelatihannya itu sendiri,
sarana dan prasarana, durasi pelatihan, materi atau silabus, dan
instrukturnya.
Desain yang baik tentu mempunyai
karakteristik yang mampu menggambarkan rancangan sebuah kegiatan,
diantara karaktersitik desain tersebut adalah; (a) obyektif artinya
mampu menggambarkan apa yang akan menjadi tujuan kegiatan, (b)
deskriptif, artinya mampu mengabstraksikan seluruh rangkaian kegiatan
yang harus dilakukan dalam sebuah kegiatan, (c) sistematis, artinya
terdapat rangkaian yang menghubungkan antar komponen, antar kegiatan
dalam mencapai sebuah tujuan baik tujuan utama maupun tujuan terminal,
(d) prediktif, artinya dengan desain seseorang dapat memperhitungkan
tentang keberhasilan yang akan dicapai sebuah kegiatan.
D. Pengembangan Desain Pelatihan
Pengembangan desain ini
dimaksudkan untuk menjadi petunjuk praktis bagi para pamong belajar dan
pemuda di tengah tengah masyarakat dalam hal melakukan satu analisis
mengapa perlu dilakukan kegiatan pelatihan, bagaimana merancang,
mengelola dan sekaligus mengevaluasinya. Maka langkah praktis yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifiaksi kebutuhan
a. Kebutuhan individu
Perancangan program pelatihan
didahului oleh analisis kebutuhan[14]. Perancangan program pelatihan
sebagai suatu sistem instruksional harus dilaksanakan dengan menerapkan
pendekatan sistem dengan alasan bahwa cara ini akan memberikan hasil
yang efektif karena: (1) diketahui dengan jelas apa yang akan dapat
dilakukan oleh peserta setelah mengikuti program tersebut, (2) adanya
hubungan antar komponen khususnya antara strategi instruksional dengan
keluaran yang diharapkan, (3) merupakan suatu proses yang bersifat
empirik dan dapat diulang kembali. Untuk itu maka dalam merancang
pelatihan pertama sekali harus didaftar apa yang menjadi masalah,
kebutuhan serta keinginan praktis dari kondisi pemuda kita, pendataan
ini dapat dilakukan dengan cara mewawancarai, mengamati atau juga angket
dan lain sebagainya.
b. Kebutuhan organisasi
Menurut Satmoko dan Soejitno
Irmim (2004)[15], bahwa untuk melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan
seyogyanya memang berdasarkan pada visi dan misi corporate plan yang
didalamnya terdapat carrier planning. Kegiatan pelatihan ada yang
diselenggarakan oleh organisasi, lembaga dan lain sebagainya. Biasanya
kebutuhan organisasi, atau lembaga akan menjadi yang utama karena dari
tujuan organisasi inilah dilihat apa yang menjadi kebutuhan atau
kualifikasi individu. Jadi dengan membaca visi dan misi serta tujuan
organisasi akan tampak apa yang dibutuhkan dalam kegiatan pelatihan.
c. Kebutuhan masyarakat
Pemuda adalah bagian dari
masyarakat, bila ingin melakukan kegiatan pelatihan, maka tujuan
pelatihan harus terkait dengan apa yang diinginkan masyarakat terhadap
pemuda. Untuk mengetahui hal ini dapat dilakukan dengan cara meminta
pendapat para tokoh masyarakat, pemerintahan setempat atau juga
mengobservasi langsung terhadap apa yang diinginkan masyarakat tentang
dunia kepemudaan.
2. Menetapkan tujuan pelatihan.
a. Tujuan lembaga
Pelatihan yang dilakukan oleh sebuah lembaga
atau organisasi kepemudaan maka harus menjadikan tujuan lembaga sebagai
satu bagian dalam kurikulumnya. Apa yang diinginkan oleh organisasi
atau lembaga dapat dicantumkan dalam mata ajar agar peserta dapat
mencapai kualifikasi yang diinginkan.
b. Tujuan peserta
Pelatihan dapat diterjemahkan
sebagai satu pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan
kemampuan menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap tertentu.
Sementara itu menurut James R.Davis & Adelaide B. Davis (1998)[16]
“Training is the process through which skills are development,
information is provided, and attitude are naturade, in order to help
individuals to become more effective and efficient in their work. Dapat
diterjemahkan bahwa pelatihan maksudnya adalah proses untuk
mengembangkan keterampilan peserta, menyediakan informasi, dan membentuk
sikap agar dapat bekerja secara lebih efektif dan efisien. Bagi
pelatihan di kalangan pemuda juga harus ditetapkan apakah pelatihan
sampai sebatas penyadaran sikap, pembentukan kepribadian, atau
peningkatan keterampilan. Sebenarnya tujuan tidak perlu muluk muluk,
yang lebih utama adalah sesuai dengan kebutuhan apa paling mendesak bagi
dunia kepemudaan setempat.
3. Menetapkan tujuan pembelajaran
Dalam hal menetapkan tujuan
pelatihan Jewel LN (1998)[17] menjelaskan bahwa pelatihan terdiri dari
program program yang dirancang untuk meningkatkan kinerja pada level
individu, kelompok atau organisasi kinerja yang menyiratkan bahwa
terdapat perubahan yang dapat diukur dengan pengetahuan, sikap atau
perilaku sosial. Dengan kata lain pelatihan merupakan salah satu
pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan kemampuan
menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap tertentu.
Untuk ini maka para perancang
pelatihan harus dapat membuat daftar kompetensi atau tujuan tujuan
praktis yang dapat dicapai oleh peserta khususnya dapat diperoleh secara
individual, apakah itu perubahan pada peningkatan pengetahuan,
perbaikan sikap, maupun peningkatan keterampilan.
4. Menetapkan strategi dan metode pelatihan
Srinivasan (1997)[18] memberikan
empat strategi pendekatan yakni: (1) pendekatan informasional, yakni
pelatih memberikan informasi dan keterampilan biasanya dengan kuliah dan
penggunaan latihan latihan. (2) pendekatan pemecahan masalah, yakni
pelatih memberikan suatu rangsangan berbentuk gambar dan menghidupkan
diskusi mengenai suatu gagasan, pokok masalah atau persoalan tertentu.
(3) pendekatan proyektif, yaitu pelatih memberikan suatu ceritera
terbuka atau ceritera bergambar dengan kejadian kejadian yang mengikuti
suatu urutan tertentu. Gagasan kejadian kejadian yang terjadi dalam
cerita berasal dari penulis kurikulum. dan (4) pendekatan
ekspresif/perwujudan, dalam hal ini pelatih memberikan bahan bahan
mentah yang dapat dipergunakan oleh para warga belajar untuk menciptakan
dan menceriterakan ceritera, kejadian dan keadaan keadan mengandung
masalah. Bahan mentah ini mencakup antara lain gambar gambar tanpa
urutan tertentu dan gambar gambar tunggal yang dapat bergerak
(fleksifan).
Pamong belajar
atau perancang pelatihan tentu akan menetapkan strategi dan metode
pelatihan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, bila tujuan materi
adalah agar peserta mempunyai peningkatan pengetahuan, maka ini leibh
bersifat penyampaikan informasi, namun bila menitik beratkan pada aspek
perubahan sikap maka yang dilakukan adalah pendekatan proyektif dan
sterusnya. Pada prinsipnya strategi dan metode dipilih adalah sesuai
dengan tujuan dari materi yang dikembangkan.
5. Evaluasi dan umpan balik
Menurut Agus Suryana
(2004)[19]terdapat tiga fungsi utama dari evaluasi dan umpan balik dalam
kegiatan pelatihan yakni; (1) umpan balik, untuk mengetahui efektifitas
kegiatan pelatihan, (2) kontrol atas ketentuan pelatihan dan (3)
intervensi kedalam proses organisasi yang mempengaruhi pelatihan. Untuk
itu maka kegiatan pelatihan akan lebih sempurna bila dilengkapi dengan
evaluasi pelatihan yang terencana sejak awal kegiatan. Menurut
B.Siswanto (2003)[20] evaluasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan
memiliki tujuan yakni; (1) untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah
dicapai oleh peserta dalam suatu periode proses belajar mengajar
tertentu, (2) untuk mengetahui posisi atau kedudukan peserta dalam
kelompoknya, (3) untuk mengetahui tingkat usaha yang telah dilakukan
para peserta dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, (4) untuk
mengetahui sampai seberapa jauh para peserta telah merealisasikan
kapasitasnya menjadi suatu achievement melalui kegiatan pendidikan dan
pelatihan, dan (5) untuk mengetahui efisiensi metode pendidikan dan
pelatihan yang digunakan.
Dalam hal mengembangkan evaluasi
ini, seorang pamong belajar atau para pemuda yang ingin mengembangkan
desain pelatihan memang harus belajar lebih banyak tentang kegiatan
evalusi. Evaluasi atau penilaian pada prinsipnya adalah memberi makna
apa yang telah terjadi baik hasil akhir dari kegiatan pelatihan maupun
juga proses yang terjadi pada pelatihan.
E. Penutup
Tulisan ini adalah satu usaha
untuk memberikan panduan praktis bagi para perancang pelatihan di
tingkat organisasi kepemudaan di masyarakat bawah. Tentu masih banyak
bagian lain yang dapat dikembangkan lagi, karena dunia pelatihan terus
maju dan berkembang seiring dengan kompleksnya persoalan pengembangan
sumber daya manusia. Inti dari kegiatan pelatihan tiada lain adalah
adanya satu kesadaran bahwa sebuah generasi harus diteruskan, dan nilai
harus dipelihara dan dipertahankan dan proses transformasi harus
dilakukan secara profesional, itu semua akan sukses bila didesain dengan
tepat dan benar.
Desain pelatihan adalah proses
kegiatan perancangan atau perencanaan. Maka berhasil merencanakan itu
berarti merencanakan keberhasilan, begitu juga sebaliknya gagal
merencanakan itu berarti merencanakan kegagalan. Inilah kata akhir dari
betapa pentingnya desain pelatihan bagi organisasi kepemudaan.
PENGEMBANGAN DESAIN PELATIHAN UNTUK ORGANISASI KEPEMUDAAN
Oleh Mardianto, M.Pd
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar Bacaan
Coombs, Philip H, New Paths to Learning For Rural Children and Youth, USA: Omtermatopma; Council for Educational Development, 1973.
Davis, James R & Davis Adelaide B, Effective Training Strategies, San Fransisco: Berret-Koehler Publishers Inc, 1998.
Dick, Walter & Carey, Low, The Systematic Design of Instruction, New York: Harper Collins Publisher, 1990.
Hamalik, Oemar, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Knowles & Malcolm S, The Adult Learner: a Neglected Species, Houston: Gulf Publishing Company, 1986.
Lira, Srinivasan, Perspectives on Non-formal Adult Learning: Functional Education for Individual, Community and National Development, New York:Wold Education, 1977.
L.N.Jewel & Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern, Jakarta: Arcan, 1998.
Piskurich, George M, Rapid Instructional Design, San Francisco: Josse Bass Peiffer, 2000.
Sastrohadiwiryo,B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, Jakarta: Seyma Media, 2004.
Siagian, Sondang P, Pengembangan Sumber Daya Insani, Jakarta: Gunung Agung, 1987.
Soedomo, M, Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, Jakarta, Dirjen Dikti P2LPTK, 1989
Sujak, Abi, Kepemimpinan Manajer, Jakarta: Rajawali, 1990.
Suparman, Atwi, Desain Instruksional, Jakarta: Dirjen Dikti, 1997.
Suryana, Agus, Kiat dan Teknik Evaluasi Pelatihan, Jakarta: Progres, 2004.
Tilaar H.A.R, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Grasindo,1999
________________________
[1] Santoso S.Hamijoyo, Peran Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda dalam Pengentasan Kemiskinan, dalam VISI, edisi No.15/TH.XI/2003, (Jakarta: Direktorat Tenaga Teknis-Dirjen Diklusepa, 2003), p.5.
[2] Abi Sujak, Kepemimpinan Manajer (Jakarta: Rajawali, 1990), p. 241.
[3] H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Grasindo,1997), p.150.
[4] B.Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), p.200.
[5] Atwi Suparman, Desain Instruksional, (Jakarta:Dirjen Dikti, 1997), p.218.
[6] George M.Piskurich, Rapid Instructional Design, (San Francisco: Josse Bass Pfeiffer, 2000), p.254.
[7] Sondang P. Siagian, Pengembangan Sumber Daya Insani (Jakarta: Gunung Agung, 1987).
[8] Walter Dick & Low Carey, The Systematic Design of Instruction (New York: Harper Collins Publ, 1990).
[9] Oemar Hamalik, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), p.38.
[10] Philip H. Coombs, New Paths to Learning For Rural Children and Youth (USA; Omtermatopma; Council for Educational Development, 1973), p.12.
[11] Knowles, Malcolm S, The Adult Learner: a Neglected Species (Houston; Gulf Publishing Company, 1986).
[12] Gambar diadaptasi dari M.Soedomo, Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, (Jakarta, Dirjen Dikti P2LPTK, 1989), p.90.
[13] Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, (Jakarta: Seyma Media, 2004), p.27-28.
[14] Beberapa tokoh desain instruksional menjabarkan bahwa untuk merancang satu kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan harus diawali dari adanya analisis kebutuhan para peserta, dengan dasar inilah maka disusun tujuan kegiatan, materi yang akan diberikan serta strategi dan metode apa yang harus diterapkan dan terakhir adalah apa alat evaluasi untuk mengukur keberhasilannya. tokoh tokoh tersebut diantaranya adalah Dick & Carey, 1990; Morrison, 1976; Tracey, 1971.
[15] Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, (Jakarta: Seyma Media, 2004), p.16
[16] James R Davis & Davis Adelaide B, Effective Training Strategies (San Fransisco: Berret-Koehler Publishers Inc, 1998), p.44.
[17] Jewel L.N & Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern (Jakarta: Arcan, 1998), p. 169.
[18] Srinivasan Lira, Perspectives on Non-formal Adult Learning: Functional Education for Individual, Community and National Development, (New York:Wold Education, 1977), p.70-71.
[19] Agus Suryana, Kiat dan Teknik Evaluasi Pelatihan, (Jakarta: Progres, 2004), p.12.
[20] B.Siswanto, Op. cit, p.220.
Coombs, Philip H, New Paths to Learning For Rural Children and Youth, USA: Omtermatopma; Council for Educational Development, 1973.
Davis, James R & Davis Adelaide B, Effective Training Strategies, San Fransisco: Berret-Koehler Publishers Inc, 1998.
Dick, Walter & Carey, Low, The Systematic Design of Instruction, New York: Harper Collins Publisher, 1990.
Hamalik, Oemar, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Knowles & Malcolm S, The Adult Learner: a Neglected Species, Houston: Gulf Publishing Company, 1986.
Lira, Srinivasan, Perspectives on Non-formal Adult Learning: Functional Education for Individual, Community and National Development, New York:Wold Education, 1977.
L.N.Jewel & Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern, Jakarta: Arcan, 1998.
Piskurich, George M, Rapid Instructional Design, San Francisco: Josse Bass Peiffer, 2000.
Sastrohadiwiryo,B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, Jakarta: Seyma Media, 2004.
Siagian, Sondang P, Pengembangan Sumber Daya Insani, Jakarta: Gunung Agung, 1987.
Soedomo, M, Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, Jakarta, Dirjen Dikti P2LPTK, 1989
Sujak, Abi, Kepemimpinan Manajer, Jakarta: Rajawali, 1990.
Suparman, Atwi, Desain Instruksional, Jakarta: Dirjen Dikti, 1997.
Suryana, Agus, Kiat dan Teknik Evaluasi Pelatihan, Jakarta: Progres, 2004.
Tilaar H.A.R, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Grasindo,1999
________________________
[1] Santoso S.Hamijoyo, Peran Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda dalam Pengentasan Kemiskinan, dalam VISI, edisi No.15/TH.XI/2003, (Jakarta: Direktorat Tenaga Teknis-Dirjen Diklusepa, 2003), p.5.
[2] Abi Sujak, Kepemimpinan Manajer (Jakarta: Rajawali, 1990), p. 241.
[3] H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Grasindo,1997), p.150.
[4] B.Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), p.200.
[5] Atwi Suparman, Desain Instruksional, (Jakarta:Dirjen Dikti, 1997), p.218.
[6] George M.Piskurich, Rapid Instructional Design, (San Francisco: Josse Bass Pfeiffer, 2000), p.254.
[7] Sondang P. Siagian, Pengembangan Sumber Daya Insani (Jakarta: Gunung Agung, 1987).
[8] Walter Dick & Low Carey, The Systematic Design of Instruction (New York: Harper Collins Publ, 1990).
[9] Oemar Hamalik, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), p.38.
[10] Philip H. Coombs, New Paths to Learning For Rural Children and Youth (USA; Omtermatopma; Council for Educational Development, 1973), p.12.
[11] Knowles, Malcolm S, The Adult Learner: a Neglected Species (Houston; Gulf Publishing Company, 1986).
[12] Gambar diadaptasi dari M.Soedomo, Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, (Jakarta, Dirjen Dikti P2LPTK, 1989), p.90.
[13] Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, (Jakarta: Seyma Media, 2004), p.27-28.
[14] Beberapa tokoh desain instruksional menjabarkan bahwa untuk merancang satu kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan harus diawali dari adanya analisis kebutuhan para peserta, dengan dasar inilah maka disusun tujuan kegiatan, materi yang akan diberikan serta strategi dan metode apa yang harus diterapkan dan terakhir adalah apa alat evaluasi untuk mengukur keberhasilannya. tokoh tokoh tersebut diantaranya adalah Dick & Carey, 1990; Morrison, 1976; Tracey, 1971.
[15] Satmoko dan Soejitno Irmim, Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan, (Jakarta: Seyma Media, 2004), p.16
[16] James R Davis & Davis Adelaide B, Effective Training Strategies (San Fransisco: Berret-Koehler Publishers Inc, 1998), p.44.
[17] Jewel L.N & Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern (Jakarta: Arcan, 1998), p. 169.
[18] Srinivasan Lira, Perspectives on Non-formal Adult Learning: Functional Education for Individual, Community and National Development, (New York:Wold Education, 1977), p.70-71.
[19] Agus Suryana, Kiat dan Teknik Evaluasi Pelatihan, (Jakarta: Progres, 2004), p.12.
[20] B.Siswanto, Op. cit, p.220.
0 komentar:
Posting Komentar