Senin, 07 Januari 2013

Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia Pasca Satu Atap Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama dikukuhkan dengan berdirinya sistem Peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1989, maka eksistensi Pengadilan Agama semakin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi dengan dikeluarkannya keketapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa seluruh sistem pembinaan peradilan disatukan dalam wadah Mahkamah Agung, seraya dengan hal tersebut, disana-sini timbul keragu-raguan dipelbagai starta mengenai kedudukan dan wewenang peradilan agama tadi. Hal ini nampak jelas di Instansi Departemen Agama yang khawatir kehilangan kendali administratif atas lembaga Pengadilan Agama.

Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989 dengan Lembaran Negara RI tahun 1989 nomor 49 salah satu substansinya bertujuan mempertegas kekuasaan Peradilan Agama sebagai salah satu Peradilan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan atau kewenangan dipertegas dengan mendefenisikan alternatif kewilayahan dan bidang-bidang hukum perdata yang menjadi tugas Peradilan Agama, Sehingga jelaslah Yurisdiksi kewenangan bidang-bidang hukum perdata antara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang selama ini sering terjadi titik singgung kewenangan mengadili.

Dalam paparan singkat penulis di atas, stressing yang akan penulis angkat kepermukaan mengenai : Kekuasaan Peradilan Agama, Peradilan Agama Pasca UU No. 35 tahun 1999, Pengaruh penyatuan satu atap di bawah Mahkamah Agung.

1. Kekuasaan Peradilan Agama.

Kata “Kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, berasal dari Bahasa Belanda “Competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.

Berbicara mengenai kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu : tentang “kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”.

A. Kekuasaan Relatif.

Ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan atau kompetensi relatif diatur di dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang No: 7 tahun 1989 sebagai berikut :

1). Pengadilan Agama sebagai Pengadilan tingkat pertama berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

2). Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan tingkat banding berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Misalnya : Pengadilan Agama Medan dengan Pengadilan Agama Binjai, Pengadilan Agama Banda Aceh dengan Pengadilan Agama Aceh Besar, Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama. Adapun penjelasan yang terkandung dalam pasal tersebut mensinyalir bahwa pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.

Dalam keadaan tertentu, maka Pengadilan Agama wilayah hukumnya bisa saja meliputi lebih dari satu kabupaten, bila kabupaten terdekat belum ada Pengadilan Agama. Demikian pula untuk Pengadilan Tingginya. Contoh; Pengadilan Tinggi Agama Mataram, wilayah hukumnya meliputi Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Bali. Ini karena wilayah provinsi tersebut belum terdapat Pengadilan Tinggi Agama. Pembentukan suatu Pengadilan Agama beserta pembagian wilayah hukunya didasarkan atas Undang-undang.1

Jadi, tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif ”2 tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di kabupaten Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi tranportasi sulit. Yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan pengajuan perkara ke Pengadilan Agama, dimana para pihak akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.

Terdapat kasus mengenai penyelesaian kompetensi relatif yang ilustrasinya sebagai berikut : Katakanlah Si Rohaya menggugat suaminya bang Thoib yang berkediaman di wilayah Pengadilan Agama Sidoarjo melalui Pengadilan Agama Surabaya. Dengan adanya gugatan Rohaya itu, maka bang Thoib oleh Pengadilan Surabaya akan dipanggil melalui Pengadilan Agama Sidoarjo. Dengan adanya panggilan tersebut, seharusnya bang Thoib untuk mempertahankan hak-haknya menghadiri persidangan Pengadilan Agama Surabaya. Akan tetapi, bang Thoib bukannya menghadiri pengadilan tersebut malah ia mengajukan perkara yang sama kepada Pengadilan Agama Sidoarjo. Dengan adanya dua perkara yang subjek dan objeknya sama masing-masing di Pengadilan Agama Surabaya dan Pengadilan Sidoarjo, maka berarti telah terjadi sengketa kewenangan antara dua Pengadilan Agama itu. Maka untuk masing-masing Pengadilan Agama dimaksud harus menghentikan pemeriksaan, dan selanjutnya mengajukan permasalahan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Agama Surabaya untuk mendapatkan putusan, apakah Pengadilan Agama Surabaya ataukah Pengadilan Agama Sidoarjo yang berwenang mengadili perkara dimaksud.

Apabila Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dalam putusannya menyatakan bahwa Pengadilan surabaya yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut, maka Pengadilan agama Surabaya langsung melanjutkan pemeriksaan, sedangkan Pengadilan Agama Sidoarjo harus menghentikan pemeriksaan dengan menjatuhkan putusan yang isinya menyatakan bahwa Pengadilan Agama Sidoarjo tidak berwenang untuk mengadili perkara itu.

Akan tetapi apabila sengketa kewenangan tersebut terjadi antar Pengadilan Agama Yang berbeda Pengadilan Tinggi Agamanya, seperti Pengadilan Tinggi Semarang dengan Pengadilan Tinggi Surabaya maka yang berwenang untuk mengadili sengketa kewenangan itu pada tingkat pertama maupun terakhir adalah Mahkamah Agung.3

Untuk lebih jelas mengenai sengketa kewenangan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung seperti halnya diatur oleh pasal 33 Undang-undang tahun 1985 yang telah dirubah oleh Undang-undang No. 5 tahun 2004, adalah sengketa kewenangan mengadili, meliputi :

a. Antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di lingkungan peradilan lain.

b. Antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari lingkungan Peradilan yang sama.

c. Antara dua Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan Peradilan yang berlainan.

Adapun sengketa kewenangan mengadili terjadi apabila :

v Dua Pengadilan atau lebih mengatakan berwenang mengadili perkara yang sama.

v Dua Pengadilan atau lebih mengatakan tidak berwenang mengadili yang sama.

Jika terjadi sengketa kewenangan mengadili antara dua Pengadilan atau lebih dimana yang menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama, maka tata cara penyelesaian sengketanya dapat ditempuh dengan solusi sebagai berikut:4

1. Pihak berperkara atau dalam hal ia tidak mengajukannya, maka Ketua Pengadilan Agama karena jabatannya, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kewenangan mengadili.

2. Apabila permohonan untuk memeriksa dan memutuskan sengketa kewenangan mengadili telah diajukan oleh pihak berperkara, atau diajukan oleh Ketua Pengadilan Agama karena jabatannya, maka Pengadilan Agama/Majelis Hakim yang bersangkutan harus menunda pemeriksaan perkara tersebut yang dituangkan dalam bentuk “PENETAPAN”, sampai sengketa kewenangan mengadili tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.

3. Pengadilan Agama yang telah menunda pemeriksaan karena adanya sengketa kewenangan mengadili, harus mengirimkan salinan “PENETAPAN” penundaan tersebut kepada Pengadilan lain yang mengadili perkara yang sama.

4. Pengadilan lain yang menerima salinan “PENETAPAN” penundaan tersebut, harus pula menunda pemeriksaan perkara dimaksud sampai dengan sengketa kewenangan mengadili tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.

Sedangkan untuk terjadinya sengketa kewenangan mengadili antar dua Pengadilan atau lebih yang sama-sama menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama, maka pihak yang berperkara dapat mengajukan permohonan secra tertulis untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Agama. Dalam pengajuannya, ia (pemohon/ pihak berperkara) dikenakan biaya yang besarnya ditaksir oleh Ketua Pengadilan Agama dan biaya pemeriksaan di Mahkamah Agung. Sedangkan permohonan yang diajukan oleh Ketua Pengadilan Agama tidak dikenakan biaya perkara.

B. Kekuasaan Absolut.

Kompetensi Absolut yang dikenal dengan istilah kompetensi muthlak, menurut para ahli adalah “kewenangan hakim-hakim atau pengadilan-pengadilan dari sesuatu jenis atau tingkatan lain dalam perbedaannya dengan kewenangan hakim-hakim atau pengadilan-pengadilan dari jenis atau tingkatan lain”.5 Sedangkan yang lain merumuskan bahwa yang dimaksud dari kekuasaan atau kompetensi absolut adalah persoalan yang menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili.6

Selain kedua rumusan tersebut ada juga yang merumuskan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan atau kompetensi absolut/muthlak adalah kekuasaan pengadlan yang berhubungan dengan jenis perkara atau tingkatan pengadilan; yang dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan yang lainnya.7

Bila kita bandingkan dari ketiga rumusan pengertian kekuasaan absolut dari para ahli tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan muthlak adalah kekuasaan atau kewenangan untuk mengadili perkara yang diberikan negara (Undang-undang) kepada pengadilan dalam lingkungan Badan Peradilan masing-masing. Adapun contoh konkritnya ; Kekuasaan yang diberikan Undang-undang kepada pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama akan berbeda dengan kekuasaan yang diberikan Undang-undang kepada pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Kekuasaan Absolut berarti kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis-jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan pengadilan, Perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lain. Misalanya : Pengadilan Agama berkuasa atas perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi wewenang Peradilan Umum. Dengan demikian Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung.

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatannya yang disebut dengan “eksepsi absolut” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama guguatan bahkan bolah diajukan kapan saja, malah sampai ke tingkat banding atau tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk salah satu diantara alasan yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan menyangkut tentang kekuasaan absolut Pengadilan Agama, antara lain :

1. Untuk orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam, ini berarti untuk orang-orang yang tidak beragama Islam maka ia tidak dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

2. Untuk bidang-bidang tertentu, yaitu ;

a. Perkawinan.

b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

c. Wakaf dan Shadaqah.

Sedangkan untuk kekuasaan atau kompetensi absolut Pengadilan Tinggi Agama, selain bidang-bidang perkara tersebut di tingkat banding, juga oleh Undang-undang diberi wewenang mengadili sengketa kewenangan di tingkat pertama dan terakhir yang terjadi antar Pengadilan Agama yang berada dalam wilayah hukumnya.

Di samping wewenang mengadili8 yang diberikan oleh Undang-undang terhadap pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, Undang-undang juga memberikan wewenang lain untuk :

a. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi di daerah hukumnya apabila diminta. Produknya bukan penetapan dan bukan pula putusan tetapi surat biasa.

b. Memberikan pertolongan kepada masyarakat Islam yang memohon pertolongan atau bantuan dalam pembagian harta peninggalan (warisan) di luar sengketa. Produknya bukan putusan dan bukan pula penetapan. Sehingga ia tidak mengikat bagi masyarakat (ahli waris) yang memintanya.



2. Peradilan Agama Pasca Undang-undang Nomor 35 tahun 1999.

Perkembangan Peradilan Agama Pasca orde reformasi patut dicatat sebagai sebuah perubahan dengan lahirnya Undang-undang No. 35 tahun 1999 sebagai perubahan atas 2 pasal dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kehadiran UU No. 35 tahun 1999 merubah pasal (11) dan (22) UU No. 14 tahun 1970 pasal 11 ayat (1) sebelum terjadi revisi berbunyi :

”Badan-badan yang melakukan peradilan pada pasal 10 ayat (1), badan-badan yang dimaksud adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, Organisatoris, Administratif dan Finansial ada dan berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan.

Selanjutnya terjadi perubahan pada pasal 11 ayat (1) yang berbunyi :

“Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.9

Dari materi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa UU No. 14 tahun 1970 menentukan bahwa ; Pertama: badan-badan peradilan agama secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ini berarti kekuasaan Departemen Agama terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang tersebut yang berjalan sejak proklamasi akan beralih ke Mahkamah Agung. Kedua : Pengalihan badan-badan tersebut dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung dan ketentuan pengalihan masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dalam Undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya lima (5) tahun sejak dikeluarkan undang-undang tersebut. Sedangkan bagi peradilan agama waktunya tidak ditentukan. Ketiga : Ketentuan mengenai tata cara pengadilan secara bertahap tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden.10

Menyingkapi ketentuan Undang-undang ini, melalui forum pertemuan menteri Agama dengan para ulama serta pemuka Islam pada tanggal 28 Desember 1999 lahirlah tiga (3) pendapat: Pertama : Bahwa Kekuasaan Departemen Agama terhadap peradilan agama dialihkan ke Mahkamah agung dalam jangka lima tahun sejak berlakunya UU No. 35 tahun 1999. Penentuan limit itu didasari oleh problema sosial politik yang kurang kondusif. Kedua : Pengadilan kekuasaan Departemen Agama terhadap Peradilan Agama ke Mahkamah Agung disesuaikan dengan ketentuan UU No. 35 tahun 1999. Ketiga : Untuk memperbaiki hukum Indonesia harus dilaksanakan secara meneluruh dan tidak tambal sulam, sebab akan menimbulkan persoalan baru.

Kini UU No. 35 tahun 1999 telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Setelah berlakunya Undang-undang ini’ terjadi beberapa perubahan antara lain : dalam pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Selanjutnya khusus bagi Peradilan Agama, pelaksanaan pemindahan ke lebaga Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004. Dalam ayat (2) Keppres ini menetapkan bahwa organisasi, administrasi dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depertemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Syari’ah Provinsi dan Pengadilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung.11

3. Pengaruh penyatuan satu atap di Bawah Mahkamah Agung.

Seusai orde baru dan memasuki era reformasi, secara teoritis kondisi Indonesia di era tersebut masih dalam transisi dan sering tampak pergulatan politik yang mewarnai kewibawaan hukum nasional kita. Dimana meliputi keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk urusan publik, kebebasan masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai untuk kenyamanan diri mereka masing-masing.

Jika sebelumnya kekuasaan eksekutif begitu menonjol dan sangat dominan, tetapi sekarang semua itu lambat laun berkurang. Norma agama memiliki kesempatan lebih luas dibandingkan masa sebelumnya. Tentu hal demikian bukan perkara yang mudah untuk dilaksanakan, malah merupakan beban berat bagi pengadilan agama dalam menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat..

Keinginan Mahkamah agung untuk bergerak lebih cepat menuju perubahan dan pembaharuan yang lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. Mahkamah Agung merupakan citra yang terhormat dan dihormati oleh elemen masyarakat dan lembaga negara lainnya. Kerjasama pembaaruan Mahkamah Agung dengan pihak LSM dalam maupun luar negeri menaruh perhatian terhadap kinerja peradilan di Indonesia.12

Peradilan Agama sebagai suatu lembaga dalam rangka penegakan supremasi hukum Islam bagi yang memintanya telah banyak melakukan berbagai gebrakan dalam mengeluarkan amar putusan. Putusan-putusan lembaga Peradilan Agama telah berperan aktif dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Pandangan ini diperkuat lagi dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Peradilan agama telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam rangka pembaharuan hukum Islam melalui putusan-putusan yang ditetapkan.13

Salah satu bentuk pengaruh Hukum Islam pasca satu atap peradilan di Indonesia adalah kasus Aceh yang memberlakukan syari’at Islam yang di dalamnya termuat Perdata Islam dan Pidana Islam yang apabila dilanggar maka terdapat sanksi hukumannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA



Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.



Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.



Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2004.



Majalah Hukum Varia Pengadilan No. 239 Agustus 2005, Dengan Judul : Managemen Perubahan Paradigma Kepemimpinan Peradilan Pasca Satu Atap Di Bawah Mahkamah Agung RI , Jakarta: CV. Angkasa,2005.



Taufiq Hamami, Hukum Acara Perdata Agama; Teori dan Prakteknya Dalam Proses Peradilan Agama, Cet. I Jakarta: PT. Tatanusa, 2004.



Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. 2, Cet. 6 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.



Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum Jakarta: Pradya Paramita, 1980



Retno Wulan Sutantio dan Oerpikawinata, Hukum Acara Dalam Teori dan Praktek Bandung: Mandar Maju, 1989.



Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Paradilan Agama, Cet. VII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970.



Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 1996, tanggal 7 Mei 1996, tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara perdata.



Undang-undang No: 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.








1Undang-undang No: 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 33. Lihat juga Taufiq Hamami, Hukum Acara Perdata Agama; Teori dan Prakteknya Dalam Proses Peradilan Agama, Cet. I (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004). Hal. 72.

2Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. 2, Cet. 6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998). Hal. 26.

3Undang-undang No: 14 tahun 1985, pasal 33.

4Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 1996, tanggal 7 Mei 1996, tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara perdata.

5Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum (Jakarta: Pradya Paramita, 1980, hal. 29.

6Retno Wulan Sutantio dan Oerpikawinata, Hukum Acara Dalam Teori dan Praktek (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 8.

7Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Paradilan Agama, Cet. VII (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 27.

8Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang telah ditambah dan dirubah dengan Undang-undang No. 35 tahun 1999, pasal 25. Lihat juga Taufiq Hamami, Hukum Acara Perdata Agama ( Teori dan Prakteknya Dalam Proses Peradilan Agama), hal.46.

9Dokumen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, hal. 2.

10Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 158.

11Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2004), hal. 39.

12Majalah Hukum Varia Pengadilan No. 239 Agustus 2005, Dengan Judul : Managemen Perubahan Paradigma Kepemimpinan Peradilan Pasca Satu Atap Di Bawah Mahkamah Agung RI (Jakarta: CV. Angkasa,2005), hal. 20.

13Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 253.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes