Hak asasi manusia secara sederhana merupakan sesuatu proses atau sistem dan sudah ada dalam diri manusia. untuk mendeskripsikan hak asasi manusia, penulis membuat suatu stressing layak dianggap sebagaimana terdapat di makalah ini.( baca juga hak asasi manusia
di sini)
Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut adalah untuk merealisasikan kerjasama internasional dlm mengatasi masalah-masalah dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan juga kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat manusia dlm hak asasi manusia, mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama juga tanpa membeda-bedakan laki-laki ataupun perempuan.
Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena terpopuler yaitu sebagai hak-hak manusia/hak asasi manusia, tetapi piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak asasi manusia untuk dihormati, kemudian tidak mengacu pada suatu sumber untuk menyebutkan secara tepat hak-hak yang perlu dihormati. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa usul dari beberapa negara agar dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian, Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang, perlu untuk menyusun suatu Bill of Rights International dalam waktu setahun setelah piagam itu diberlakukan.
di sini)
A. Pendahuluan.
Ketika
manusia lahir ke muka bumi, jeritan dibarengi tangisan menghiasi
perjalanan hidup manusia, hal ini menandakan bahwa setiap individu telah
merasakan secara naluri bagaimana hak dan kewajibannya ketika lahir.
Penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter dan sebagainya telah
mewarnai kehidupan dlm manusia itu sendiri.
Hak asasi manusia (HAM)
secara sederhana merupakan sesuatu proses atau sistem dlm diri manusia,
untuk merealisasikannya diperlukan suatu pola akurat dan jitu agar
hak-hak tersebut dapat berjalan sesuai dengan fitrah dan kodratnya
masing-masing. Katagori hak manusia dewasa ini selalu diartikan sempit,
padahal banyak pakar berkomentar luwes tentang hal tersebut. Islam
mendukung sepenuhnya eksistensi hak anak manusia mulai dari penciptaan
hingga kematiannya. Pembodohan hak inilah akan menimbulkan secercah
fenomena sosial masyarakat kita, ketika diaplikasikan.
Dalam mendeskripsikan hak asasi manusia (HAM), penulis membuat suatu stressing dianggap layak untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi manusia, Hak dalam pandangan Islam, Deskripsi Hak Manusia menurut Deklarasi PBB, Fenomena sosial dlm tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.
Dalam mendeskripsikan hak asasi manusia (HAM), penulis membuat suatu stressing dianggap layak untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi manusia, Hak dalam pandangan Islam, Deskripsi Hak Manusia menurut Deklarasi PBB, Fenomena sosial dlm tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.
B. Lahirnya Deklarasi Universal Hak asasi Manusia/HAM.
Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah menegaskan akan perlunya memelihara
perdamaian serta keamanan dunia, menegaskan pula tentang pentingnya
bangsa-bangsa di dunia ini untuk memperhatikan tentang hak asasi manusia,
martabat dan kehormatan individu, kesamaan hak asasi manusia baik
laki-laki maupun perempuan, juga perlakuan negara-nagara besar terhadap
negara kecil secara wajar.
Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut adalah untuk merealisasikan kerjasama internasional dlm mengatasi masalah-masalah dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan juga kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat manusia dlm hak asasi manusia, mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama juga tanpa membeda-bedakan laki-laki ataupun perempuan.
Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena terpopuler yaitu sebagai hak-hak manusia/hak asasi manusia, tetapi piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak asasi manusia untuk dihormati, kemudian tidak mengacu pada suatu sumber untuk menyebutkan secara tepat hak-hak yang perlu dihormati. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa usul dari beberapa negara agar dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian, Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang, perlu untuk menyusun suatu Bill of Rights International dalam waktu setahun setelah piagam itu diberlakukan.
Tugas menyusun Bill of Rights international sebagaimana tersebut di atas, diserahkan kepada Commision of Human Rights (Komisi Hak Asasi Manusia) merupakan aparat dari Economic and Sosial Council (ECOSOC).
Komisi ini bertugas membuat rincian tentang hak-hak asasi manusia
kemudian mesti dihormati oleh setiap manusia di muka bumi ini, di
samping itu komisi ini juga diberi wewenang untuk mempersiapkan
rancangan program internasional tentang hak-hak asasi manusia berkenaan
dengan piagam PBB, serta memberikan penjelasan persetujuan mengenai
hak-hak sipil, kedudukan wanita, larangan diskriminasi secara terarah
kepada ras, bangsa, bahasa dan agama.
Komisi
Hak Asasi Manusia/HAM telah bersidang dan membentuk beberapa komisi
menurut tugas diberikan kepadanya. Setelah melalui perdebatan panjang,
maka lahirlah “Universal Declaratiaon of Human Rights” atau disebut
Deklarasi Internasional tentang hak-hak asasi manusia/HAM, ditetapkan
pada sidang kemudian menetapkannya pula atas dasar persetujuan
anggota-anggotanya, kecuali empat negara absen. Akhirnya pada tanggal 10
Desember 1948, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan
rancangan deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia/HAM
dipersidangan di Paris. Kemudian pada hari berikutnya sidang UNESCO menyetujui pula seluruh isi deklarasi tersebut.
Deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia/HAM pada bentuk terakhir memuat daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal budaya untuk menjadi hak semua orang tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak memuat lembaga atau mekanisme yang akan menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua menteri ada dalam bentuk mengikat secara non hukum, tetapi secara prakteknya di kemudian hari telah mengubahnya menjadi sebuah alat untuk mempunyai kekuatan yuridis, walaupun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.
Meskipun banyak kesulitan PBB untuk upaya memantapkan sistem universal untuk melindungi hak asasi manusia/HAM, tetapi PBB telah berbuat banyak guna menangani masalah ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi manusia sudah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB mengenai hak-hak asasi manusia/HAM (badan berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial).paling baru adalah Konvensi mengenai hak-hak anak yg dicetuskan oleh komisi awal 1989.
Teori sosial sering berkembang lebih pesat dari prakteknya. Akan tetapi sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yg mendesak dan kesempatan pengalaman menimbulkan jawaban-jawaban yg tampaknya dapat dan diperlukan jauh sebelum kita dapat membenarkan mereka. Ini khususnya terlihat pada gerakan-gerakan untuk hak-hak asasi manusia/HAM. Meskipun kesadaran mengenai pentingnya /hak asasi manusiaHAM semakin tumbuh dan berkembang luas, dan gerakan-gerakan serta sebab-sebab yg menyuarakan hak asasi manusia/HAM ataupun hak-hak lainnya menjadi beragam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dirasakan, jika dibandingkan dengan literarur lain dengan tema filsafat. Literarur terkini, masih sangat sementara sifatnya dan membingungkan, dan kadang-kadang merupakan kesangsian dlm memandang hakikat, realitas, serta apa yg disebut dasar-dasar hak asasi manusia/HAM
Namun demikian, tuntutan atas hak-hak manusia/hak asasi manusia itu terus berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dlm makna apapun, Tuntutan-tuntutan itu bermuara dari adanya rasa tertekan dan ketidakpuasan turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang seharusnya menjadi lebih baik dari keadaan kini. Semakin luasnya tuntutan tersebut kelihatannya bukan dipengaruhi oleh kesulitan dlm analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan berpengaruh pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau menentang tuntutan-tuntutan ini.
Konsekuensi paling penting dari kesangsian mengenai kesahihan dari teori manapun mengenai HAM adalah kecenderungan yg mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari hubungan-hubungan kekuasaan belaka. Sejumlah alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak asasi manusia itu ada atau bisa kita ketahui keberadaannya. Alasan-alasan tersebut antara lain : Kadang kala orang mempunyai pandangan bahwa hak asasi manusia/HAM tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal seperti itu sebagai hak-hak moral secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa memberikan landasan-landasan yanng sahih dan obyektif untuk keputusan moral apapun.
Deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia/HAM pada bentuk terakhir memuat daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal budaya untuk menjadi hak semua orang tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak memuat lembaga atau mekanisme yang akan menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua menteri ada dalam bentuk mengikat secara non hukum, tetapi secara prakteknya di kemudian hari telah mengubahnya menjadi sebuah alat untuk mempunyai kekuatan yuridis, walaupun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.
Meskipun banyak kesulitan PBB untuk upaya memantapkan sistem universal untuk melindungi hak asasi manusia/HAM, tetapi PBB telah berbuat banyak guna menangani masalah ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi manusia sudah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB mengenai hak-hak asasi manusia/HAM (badan berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial).paling baru adalah Konvensi mengenai hak-hak anak yg dicetuskan oleh komisi awal 1989.
Teori sosial sering berkembang lebih pesat dari prakteknya. Akan tetapi sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yg mendesak dan kesempatan pengalaman menimbulkan jawaban-jawaban yg tampaknya dapat dan diperlukan jauh sebelum kita dapat membenarkan mereka. Ini khususnya terlihat pada gerakan-gerakan untuk hak-hak asasi manusia/HAM. Meskipun kesadaran mengenai pentingnya /hak asasi manusiaHAM semakin tumbuh dan berkembang luas, dan gerakan-gerakan serta sebab-sebab yg menyuarakan hak asasi manusia/HAM ataupun hak-hak lainnya menjadi beragam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dirasakan, jika dibandingkan dengan literarur lain dengan tema filsafat. Literarur terkini, masih sangat sementara sifatnya dan membingungkan, dan kadang-kadang merupakan kesangsian dlm memandang hakikat, realitas, serta apa yg disebut dasar-dasar hak asasi manusia/HAM
Namun demikian, tuntutan atas hak-hak manusia/hak asasi manusia itu terus berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dlm makna apapun, Tuntutan-tuntutan itu bermuara dari adanya rasa tertekan dan ketidakpuasan turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang seharusnya menjadi lebih baik dari keadaan kini. Semakin luasnya tuntutan tersebut kelihatannya bukan dipengaruhi oleh kesulitan dlm analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan berpengaruh pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau menentang tuntutan-tuntutan ini.
Konsekuensi paling penting dari kesangsian mengenai kesahihan dari teori manapun mengenai HAM adalah kecenderungan yg mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari hubungan-hubungan kekuasaan belaka. Sejumlah alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak asasi manusia itu ada atau bisa kita ketahui keberadaannya. Alasan-alasan tersebut antara lain : Kadang kala orang mempunyai pandangan bahwa hak asasi manusia/HAM tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal seperti itu sebagai hak-hak moral secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa memberikan landasan-landasan yanng sahih dan obyektif untuk keputusan moral apapun.
Kadang-kadang
orang berpendapat bahwa tidak ada HAM/hak asasi manusia di dalam sistem
moral manapun, kecuali kalau hak tersebut ditafsirkan secara muthlak,
tak bersyarat, atau tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini tersirat dalam
beberapa pakar hukum berpikiran liberal. Asumsi ini tidak mengandung
pengertian apa-apa dalam istilah dlm penggunaannya, kecuali atas dasar
anggapan bahwa hanya ada satu hak muthlak atau jika adapun lebih dari
satu, bahwa kita bisa memberikan alasan kuat untuk mempercayai bahwa
semua HAM/hak asasi manusia dapat selaras satu sama lain dan dalam
keadaan yg tak dapat diperkirakan atau dipercaya hak-hak tersebut akan
saling bertentangan.
Perbedaan jelas antara kewajiban dan hak prima facie,1
kemudian kewajiban dan hak muthlak tampaknya merupakan sebuah analisis
yg sudah memadai terhadap persoalan yag kita hadapi. Semua hak manusia/HAM memiliki validitas prima facie
di dalam situasi di mana hak tersebut relevan, tetapi hak-hak itu tidak
secara muthlak dan pasti mengikat tingkah laku dlm setiap kasus khusus
apapun, meskipun hak-hak itu harus dipertimbangan. Kita tidak bisa
mengatakan hak mana secara pasti mengikat, karena kita tidak dapat
mengetahui mana lebih dulu suatu hak bertentangan dengan hak lain. Di
sisi lain konsekuensi-konsekuensi ketaatan dan pelanggaran terhadap hak
dan kewajiban demikian kompleks dalam tatanan bobot yg tidak stabil dan
tidak konstan, sehingga tidak ada hirarki dapat ditegakkan sebelumnya
untuk membimbing kita untuk masuk ke semua lini situasi konstruktif.
3.
Sumber kesangsian lainnya tentang HAM/hak asasi manusia muncul oleh
karena adanya perbedaan-perbedaan dalam daftar hak manusia/hak asasi
manusia (HAM), sebagaimana hal itu terlihat diberbagai deklarasi hak-hak
asasi manusia/HAM. Keberatan ini menunjukkan kesalahan konsep amat
besar tentang tujuan atau kegunaan penempatan hak-hak semacam itu.
Daftar tersebut tidak terlepas dari pengaruh historis-fungsional. Upaya apapun untuk menyebutkan hak-hak manusia/hak asasi manusia satu persatu memberikan referensi sejarah.2
C. Hak Asasi manusia/HAM Dalam Pandangan Islam.
Berbicara
tentang hak-hak asasi manusia/HAM dalam Islam secara langsung, kita
lantas berpikir mengenai metodologi yg digunakan dalam menyingkapi
persolaan yg terjadi. Masalah utama dihadapi berasal dari pendekatan
orientalis, oleh para analis berpendapat bahwa jika Barat dan Islam
dihadapkan dlm polemik hak manusia,
maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka sebagai rujukan dan
menjadikannya sebagai modal dlm memperbandingkan peradaban dan tatanan
lain. Parameter moral, hukum, politik yg dibentuk sebagai tujuan
pemberian penghargaan kepada Islam disusun dengan bentuk-bentuk istemewa
yang meragukan.
Sarjana
Barat jarang mengunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk
menjelaskan perkembangan-perkebangan yg berlaku di Eropa beberapa dekade
lalu. Namun dalam menerangkan peristiwa-peristiwa di negara-negara
Muslim, mereka cenderung dan hampir selalu menggunakan istilah-istilah
keagamaan. Menjadikan Islam sebagai dalih atau
penyebab tradisionalisme di satu sisi, atau revolusi di segi lain,
merupakan kecenderungan yg sudah berlangsung dan telah mencapai
puncaknya sejak jatuhnya rezim Syah di Iran. Kita cenderung berpendapat
bahwa kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal
lain dinilai tabu tidak dapatdianggap bertanggung jawab atas kejadian di
dunia Islam sekarang. Sebenarnya daripada melihat Islam sebagai
kesatuan independen dari satu hakikat mistik, lebih baik memandang kita
memandang negara, pemerintahan atau masyarakat Islam sebagai satu
komponen kekuasan solid mengenai soasial-politik dengan perubahan dengan
berbagai rezim politik, gaya kognitif dan sistem ekonomi berlainan.
Masalah
kedua berasal dari interpretasi berlawanan sebagaimana ditawarkan oleh
para sarjana Islam sendiri. Bagi sementara sarjana Islam, keinginannya
membantah pandangan orientalis telah bergeser menjadi penolakan, sikap
mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi hingga mencapai titik
di mana mereka menghendaki bahwa apapun untuk ditemukan diluar
batas-batas orang-orang Islam pasti mempunyai batasan dalam diri mereka,
seperti : gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik,
konsep-konsep dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak manusia/hak
asasi manusia maupun kodifikasi kemanusian bukanlah merupakan
pengecualian bagi para pemikir Muslim, dengan segara dapat menunjukkan
bahwa, meskipun baru saja dilembagakan hak-hak asasi manusia/HAM
dan kodifikasi kemanusian tersebut, hal-hal semacam ini bahkan sudah
dilaksanakan pada zaman permulaan Muhammad Saw.3
Menurut pandang sarjana Muslim lainnya, sejarah Islam bukan saja rangkaian peristiwa yg tak dapat dipisahkan (yakni terdapat suatu perkembangan historis tunggal memiliki kaitan dengan semua masyarakat yg memiliki agama sama). Namun demikian negara-negara modern dewasa ini tidak mempunyai kesamaan dengan masyarakat kecil dalam melihat aspek yg diperlukan masyarakat dalm tatanan kebutuhan primer.
Menurut pandang sarjana Muslim lainnya, sejarah Islam bukan saja rangkaian peristiwa yg tak dapat dipisahkan (yakni terdapat suatu perkembangan historis tunggal memiliki kaitan dengan semua masyarakat yg memiliki agama sama). Namun demikian negara-negara modern dewasa ini tidak mempunyai kesamaan dengan masyarakat kecil dalam melihat aspek yg diperlukan masyarakat dalm tatanan kebutuhan primer.
Dari
beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi
manusia/HAM adalah suatu tanggung jawab yg telah ada semenjak manusia
lahir atau dengan kata lain hak dasar manusia. Hak tersebut termasuk
dalm katagori kebebasan dan kemerdekaan. meliputi hak hidup, hak
mendapatkan sesuatu, kebebasan bersikap tanpa ada penghalang. Dalam
Islam hak asasi manusia/HAM, harus sesuai dengan prinsip-prinsip
kemanusian selaras dan seimbang, tanpa melihat perbedaan di kalangan
masyarakat sosial walaupun di sana-sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah
merupan cerminan hak asasi manusia/HAM untuk program up to date .
D. Deskripsi Hak Asasi Manusia/HAM Menurut Deklarasi Hak Universal PBB.
Pollis
dan Schwab menyimpulkan dalam esai mereka, “Hak asasi manusia/HAM :
Suatu konstruksi Barat dengan keberlakuan terbatas dengan penonjolan
keberatan secara lazim terhadap etnosentrisme.4
Sayangnya tidak hanya hak-hak asasi manusia/HAM diajukan dlm Deklarasi
Universal yg diprakarsai sebagai bias barat, melainan ada kecenderungan
untuk memandang hak tersebut secara ahistoris dan dipisahkan begitu saja
dari konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.5
Kritik
seperti itu sering ditujukan pada pernyataan-pernyataan tentang hak-hak
pribadi, hiburan, status, perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk hukuman,
dan beberapa jaminan politik dan perdata, seperti prosedur-prosedur
pemilihan dimuat dalm beberapa dokumen hak-hak asasi manusia/HAM
kemudian akan diakui secara internasional. Kecaman tersebut merupakan
manifestasi dari budaya yng terlalu sempit dan pengalaman sejarah dalam
hal-hal tertentu saja. Tudingan lain muncul karena adanya tuduhan serius
dan menantang. Para pembela hak-hak asasi manusia/HAM perlu menghadapi
secara jujur dan menanggapinya secara teliti dan seksama. Apakah semua
hak dimuat dalam dokumen-dokumen itu sama-sama mengikat semua orang
dimanapun, atau berapakah hak yg tunduk pada kebijaksaan kultural dan
nasional, dan sejauhmana kebijaksaan tersebut diaplikasikan, mungkinkah
masing-masing pemerintah dan budaya memilih dengan sederhana di antara
daftar-daftar hak dalam hak-hak manusia/HAM
(hak asasi manusia), dan menentukan hak-hak mana mengikat dan tidak,
singkatnya dari sejumlah kendala itu, apakah ukuran standar dari
pemerintah dan budaya, atau pemerintahan dan budaya merupakan barometer
hak asasi manusia/HAM?.
Fenomena
demikian merupakan persoalan-persoalan besar yang mengejutkan.
Persoalan itu juga mewarnai teori moral, hukum, politik dan ekonomi,
termasuk studi etika perbandingan. Penulis tidak memulai dan memberikan
jawaban yang komprehensif, dan bahkan tidak ragu terhadap argumentasi
jawaban dari pakar-pakar hak asasi manusia selama rasional dengan tidak
mengeyampingkan sikap hormat terhadap refleksi persoalan hak asasi
manusia dan selalu terseru tentang hak asasi manusia/HAM.
Sejumlah
keberatan umat Islam untuk pertama kalinya tercatat pada tahun 1948,
selama pembahasan sekitar Pasal 18 Deklarasi Universal yang dinyatakan:
“Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, nurani, dan agama; hak
ini termasuk kebebasan untuk merubah agama dan kenyakinan, dan
kebebasan, baik sendiri atau dalam masyarakat yang lain, baik dalam
urusan publik atau privaat dalam mengungkapkan ajaran, praktek, ibadah
dan ketaatan agama atau keyakinannya dalam pengajaran”6
Dalam tanggapannya, sejumlah negara Islam (khususnya Arab Saudi)
berusaha untuk menghapus pasal tersebut. Dan dari dalih pasal itu,
mereka menunjukkan kambing hitam yang lain– Libanon, misalnya-untuk
mendukung pernyataan Saudi tersebut, mereka beranggapan bahwa hak-hak
kaum Muslim Libanon akan rusak oleh kata-kata dalam pasal itu.
Keberatan-keberatan
yang sama diajukan oleh beberapa negara terhadap pasal itu yang lebih
rinci dari versi kebebasan agama yang dimuat dalam naskah Konsep Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang belakangan
disetujui dan dinyatakan bahwa: “Tak seorangpun boleh tunduk pada
paksaan yang akan merusak kebebasan untuk menganut agama atau kenyakinan
yang menjadi pilihannya” (Pasal 18 ayat 2). Dan pasal 26 Kovenan itu
menambahkan ketentuan baru lain yang menjamin perlindungan hukum yang
sama terhadap bentuk deskriminasi atas dasar apapun seperti ras, jenis
kelamin, agama.
Pembahasan
sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia/HAM di Perserikatan
Bangsa-Bangsa memberikan titik pangkal yang unik terhadap penelitian
mengenai Islam dan kebebasan agama. Hal ini bersifat diskusi
Internasional, dan karena pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu
mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebebasan agama
secara langsung-khususnya pasal 18, yang memberikan hak tehadap
kebebasan nurani dalan memilih dan mempraktekkan keyakinan agama,
termasuk hak untuk pindah agama. Persoalan ini merupakan ketetapan yang
paling menimbulkan perselisihan antara negara-negara Islam Saudi Arabia
dan Pakistan.7
E. Fenomena Sosial Dalam Tatanan Hak Asasi Manusia/HAM Secara Global.
Melindungi
Hak Asasi Manusia mayoritas dan minoritas di atas permukaan bumi harus
dipertahankan. Alasannya yang cukup kuat, struktur kekuasaan tata dunia
baru sangat tidak seimbang. Kekuasaan politik, militer, ekonomi,
teknologi dan budaya berada di tangan elite. Tata dunia baru sesungguhnya
hanyalah slogan, kata-kata jebakan yang diciptakan untuk melanggengkan
pola dominasi dan kontrol Barat yang satu atau lain bentuk, dimana telah
bercokol selama hampir sepanjang dua ratus tahun terakhir. Karena
tujuan utamanya adalah untuk melayani kepentingan yang berkuasa, dunia
akan terus menyangkal dan mencabut kemanusiaan dari hak-haknya. Ketika
sebuah sistem diorientasikan hal kuat atau memiliki hak istemewa, maka
hak orang akan biasa berada dalam bahaya. Ini adalah fakta yang terjadi
berulang kali pada tingkat negara-kebangsaan. Betapapun komprehensipnya
hak untuk dijanjikan kepada rakyat dalam konstitusi sebuah negara,
realisasi aktualnya tergantung pada sejauhmana struktur kekuasaan yang
terdapat dalam masyarakat tersebut melaksanakannya. Apabila kekuasaan
terdistribusi secara merata, amat boleh jadi warga negara akan menikmati
hak-hak yang diberikan kepadanya.
Sebaliknya, jika kekuasaan terpusat pada level elite masyarakat, maka hak asasi manusia lebih memungkinkan untuk dilanggar ketimbang ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yg mematuhi sejumlah kecil amanat akibat dari politik perwakilan, sistem global tidak memiliki tanggung jawab terhadap ras manusia. Lembaga-lembaga kekuasaan yang mendominasi sistem global tidak bertanggung jawab terhadap rakyat. Apartheid global bukan hanya menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan kepada minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kendali (control) akan dapat mempertahankan dan melanggengkan posisi mereka melalui hukum, institusi, dan nilai yang sesuai dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa seperti apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis lembut namun kuat dalam apartheid global.
Sebaliknya, jika kekuasaan terpusat pada level elite masyarakat, maka hak asasi manusia lebih memungkinkan untuk dilanggar ketimbang ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yg mematuhi sejumlah kecil amanat akibat dari politik perwakilan, sistem global tidak memiliki tanggung jawab terhadap ras manusia. Lembaga-lembaga kekuasaan yang mendominasi sistem global tidak bertanggung jawab terhadap rakyat. Apartheid global bukan hanya menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan kepada minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kendali (control) akan dapat mempertahankan dan melanggengkan posisi mereka melalui hukum, institusi, dan nilai yang sesuai dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa seperti apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis lembut namun kuat dalam apartheid global.
Ketika
kita melihat hak asasi manusia dipermainkan dengan hal-hal yang
dianggap legal, kita tidak menyadari bahwa setelah kebijakan yang
diterapkan berlainan dengan apa yang telah diformulasikan, kepentingan
demi kepentingan merupan faktor yang sangan dominan terjadi dalam
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dewasa ini. Era modern sebagai
wadah cukup signifikan terjadi gejala sosial masyarakat baik itu dari
individu sampai lembaga berkompeten sekalipun. Indonesia sendiri yang 60
tahun merdeka, telah banyak meyepelekan hak yang ada pada manusia, baik
secara halus maupun terang-terangan. Banyaknya korban HAM/hak asasi
manusia yg rela mengorbankan sesuatu untuk ibu pertiwi ini, tapi apa
yang mereka dapatkan setelah darah, jiwa, air mata serta kepedihan
dipertaruhkan. Kesengsaraan dan kegetiran hidup selalu menjadi fenomena
sosial yang kerap kita lihat dimana-mana melalui media-media atau di
lapangan. Masyarakat kita kurang tersentuh hatinya ketika melihat
problem orang lain, akan tetapi jika masalah tersebut ada sangkut
pautnya dengan keluarganya baik secara kekerabatan, maka ia akan
berontak dan langsung sadar apa yang harus dilakukan, tanpa memikirkan
akibatnya.
Pelanggaran HAM (hak asasi manusia) di dunia Barat siapa yg dapat menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa akan bertanggung jawab, pelanggaran hak asasi manusia atau HAM di Indonesia siapa yg harus dikambing hitamkan. Lembaga peradilan kompeten sekalipun tidak akan mampu secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah merupakan senjata ampuh untuk mengelabui masyakat yang awam akan hakekat dimensi hukum dan keadilan terselubung. Menanti terus menanti merupakan suatu kemunafikan sama membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita melihat sesuatu persoalan, disinilah letak kebobrokan hukum negara kita.
Pelanggaran HAM (hak asasi manusia) di dunia Barat siapa yg dapat menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa akan bertanggung jawab, pelanggaran hak asasi manusia atau HAM di Indonesia siapa yg harus dikambing hitamkan. Lembaga peradilan kompeten sekalipun tidak akan mampu secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah merupakan senjata ampuh untuk mengelabui masyakat yang awam akan hakekat dimensi hukum dan keadilan terselubung. Menanti terus menanti merupakan suatu kemunafikan sama membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita melihat sesuatu persoalan, disinilah letak kebobrokan hukum negara kita.
Konflik
terjadi dilingkungan kita disebabkan oleh berbagai ketidak puasaan yg
dilakukan sekelompok orang yg iri terhadap kesenangan orang lain,
pembunuhan, perkosaan, pencurian dan beberbagai penyelewengan bagaian
kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia/HAM. Dengan
demikian konflik itu sangat jelas. Pasal-pasal tentang kebebasan agama
dan nurani dalam berbagai dokumen hak asasi manusia nampak berbenturan,
hal-hal penting dari banyak persoalan yg sudah ditetapkan dan ajaran
Islam yg resmi tentang pemberlakuan terhadap orang-orang murtad dan
orang-orang non Islam yang dilindungi. Ada sekurang-kurangnya empat
strategi yg mungkin bisa kita gunakan dalam menghadapi konflik tersebut
Kita
dapat saja mendukung ditariknya kembali semua pernyataan mendukung
kebebasan beragama dan nurani (atau barangkali kita dapat
menyempurnakannya dengan tujuan sama, dengan cara menulis kembali
pernyataan-pernyataan itu dengan maksud supaya tidak berbahaya). Banyak
problem dengan tanggapan seperti ini. Apakah semua pernyataan hak asasi
manusia/HAM harus ditarik kembali atau dikebiri kapan saja ketika
berhadapan dengan oposisi. Akan tetapi lebih tepat lagi, sebenarnya ada
sedikit dalam masyarakat internasional, bahkan di kalangan orang-orang
Islam, dalam mengambilangkah-langkah radikalsemacam itu. Orang-orang
Islam, seperti halnya lain, nampaknya bisa saja menerima status hak
asasi manusia tentang kebebasan dan nurani, sepanjang hak-hak itu
dibatasi sebagaimana mestinya sesuai dengan ajaran tradisional.
Kita
dapat mencoba untuk membantah bahwa ketaatan terhadap
pernyataan-pernyataan kebebasan agama yang ada memerlukan perizinan
negara-negara Muslim, bersama-sama dengan setiap orang selain Muslim,
kebijaksanaa untuk membatasi toleransi agama dan batas-batasnya dengan
cara apa saja yang mereka tentukan. Maka kita akan membolehkan hak-hak
orang Islam mengikutu hati nurani mereka sendiri, dan oleh karena itu,
tindakan terhadap hak kebebasan agama mereka dijamin secara
internasional. Ada dua problem di sini. Pertama adalah dengan membiarkan
semua pandangan tidak toleran, akan menghasilkan kebijaksanaan
sebaliknya, khususnya ketika sikap tidak toleran mengarah pada keyakinan
keyakinan tertentu dapat dilaksanakan. Kedua adalah adanya fakta bahwa
pernyataan-pernyataan tentang hak kebebasan agama yg ada secara
eksplisit mencakup larangan-larangan bertentangan dengan
kebijakan-kebijakan Islam tertentu.
Kita
dapat berpegang teguh pada pernyataan tentang hak kebebasan agama yg
ada dan mencoba untuk menetapkannya secara internasional dengan memakai
perangkat-perangkat sama seperti dilakukan PBB umpamanya, dari waktu ke
waktu telah melakukan upaya memperkuat hak-hak politik, ekonomi, sosial
dan hak-hak penduduk lainnya. Di samping itu, tanpa ada persetujuan
bahwa suatu keyakinan dengan kebebasan agama memerlukan toleransi
keyakinan apapun, bahkan keyakinan-keyakinan memaksa sikap intoleran,
betul-betul menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan kultural mengenai
masalah ini menciptakan kerumitan-kerumitan dan kebingungan bagi para
pendukung HAM/hak asasi manusia tidak tercantum berkenaan dengan
pelangaran-pelangaran yg lebih terkenal, seperti penganiyaan kasar
terhadap para tahanan, lawan politik dan lain sebagainya.
Kita
dapat mengatakan perdebatan kontemporer antara orang-orang Barat dan
orang-orang Islam tentang kebebasan agama dan nurani sebagai kesempatan
untuk mempertimbangkan dasar-dasar dan sifat dari suatu keyakinan
tentang kebebasan tersebut baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Jika
dengan teliti, dievalusi secara kritis, konflik antara pandangan Barat
dan Islam mengenai sesuatu yang sedemikian penting dan mendasar, seperti
hak kebebasab dalam beragama dan nurani menjadi lebih konsisten dari
diduga, memiliki banyak alasan untuk mulai menyerukan “ penerapan tanpa
batas”8 dari Deklarasi Hak Munusia, sebagaimana diduga banyak orang.
F. Persoalan Rakyat : Status dan Hak-Haknya/hak asasi manusia
Menurut al- Maududi,9
ajaran Islam mencakup sistem pemikiran dan pedoman tingkah laku manusia
dan bertujuan untuk mendirikan negara berlandaskan Ideologi Islam
sendiri. Untuk itu Islam membagi dua tipe kewarganegaraan : Muslim dan
Dzimmi.
Dalam
hal ini, kata al- Maududi, secara terus terang dan jujur membedakan
warganya secara jelas dalam struktur politiknya, tanpa bersembunyi
dibalik hiasan kata-kata belaka. Misalnya sebagaimana banyak dilakukan
oleh negara-negara yang di atas kertas menjamin persamaan hak antara
warga negaranya, namun dalam kenyataannya, sepanjang masa mempraktekkan
diskriminasi terhadap sejumlah penting warga negaranya. Ini dapat
disaksikan misalnya dalam perlakuan tehadap kaum Negro (penduduk kulit
hitam) di Amerika Serikat atau perlakuan terhadap orang-orang non komunis di Rusia.
Dalam kenyataannya, kata al- Maududi10,
semua negara modern sekarang terdapat perlakuan semacam itu dalam
berbagai tingkatannya. Dalam hal ini ajaran Islam menempuh jalan paling
rasional, adil dan terhormat. Jalan tersebut bagi al- Maududi bahwa
sejak awal dan terang-terangan ajaran Islam mengklasifikasikan dua
lapisan warga negara berdasarkan ukuran agama : Islam dan non-Islam.
Di
atas setiap pundak warga negara Muslim terletak kewajiban untuk
menyelenggarakan seluruh ajaran Islam. Merekalah yang memikul kewajiban
untuk melaksanakan hukum-hukumnya dan secara bersama-sama untuk
merealisasikan ajaran Islam dalam bidang keagamaan, moral, kebudayaan
dan politik. Islam meletakkan itu semua pada mereka dan meminta
pengorbanan mereka dalam segala bentuknya agar dapat mempertahankan
ajaran tersebut.
Di
segi lain, praktek perkawinan terhadap sesama TKI di luar negari
menjadi suatu kajian hukum mengenai status anak yang dlahirkan tersebut
baik itu tentang status kewarganegaraan maupun aspek-aspek yg timbul di
kemudian hari.11
Status buruh yg bekerja diluar negeripun semakin gencar-gencarnya
diperjuangkan agar kepastian hukum kita sebanding dengan hukum negara
lain.
G. Penutup.
Akhir akhir ini persoalan Hak Manusia/hak
asasi manusia (HAM) kembali mencuat ke permukaan dan banyak dibicarakan
di mana-mana. Ini menandakan bahwa manusia sedang menuju kepada
pemahaman jati dirinya sendiri, Hak-hak asasi manusia menghendaki adanya
kebebasan atau kemerdekan. Di
saat masyarakat dunia sedang galau menghadapi terpaan arus globalisasi
dan modernisasi, penegakan hak asasi manusia/HAM itu sendiri ditenggarai
sebagai bagian dari proses demokratisasi, terutama di negara-negara
sedang berkembang.
Islam
jauh hari telah membuat suatu legitimasi hukum kuat tentang hak-hak
individu manusia, sejak dari alam rahim hingga dapat berinteraksi
sesamanya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan hak mutlak
setiap insan dalam memahami dan menjalankan ajarannya.
Pelanggaran
HAM/hak asasi manusia dewasa ini kerena ada berbagai kepentingan dari
kebijakan penguasa yg kurang meperhatikan aspek-aspek nilai berkembang
dalam masyarakat, banyak kasus-kasus pencemaran nama baik, pembunuhan,
perkosaan, penganiayaan dan kreativitas dalam berkreasi menjadi
persoalan HAM/hak asasi manusia semakin kompleks. Ajaran Islam dan
nilai-nilai terkandung di dalamnya menjadi solusi alternatif. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Little, David, John Kelsey dan Abdul al-Azis A. Sachedina. Human Rights and the Complict of Cultures: Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty, Terj. Riyanto, Cet. I. yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1997.
- al- Maududi, Abu al-A’la. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication LTD, 1967.
- Muhammad, Rusjdi Ali. Hak Manusia, Dalam Perspektif Syari’at Islam. Cet. I. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
- Nasution, Harun dan Bahtiar Effendy. Hak asasi manusia Dalam Islam, Cet. I Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Firdaus, 1987.
- Piscatory, James P. Human Rights and Islamic Political Culture, Moral Imperative of Human Rights, (ed) Kenneth W. Thompson. Washington: University Press of America, 1980.
- Pollis, Adamantia dan Peter Schwab. Human Rights: Cultural and Ideological Perspectives. New York: Praeger, 1979.
- Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia, Cet. II. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
- Vatin, Jean Claude. Human Rights in Islam, dalam Philosophy and Public Policy. Southen Illinois: University Press, 1980.
2 komentar:
HAM (jossss)
HAM (jossss)
Posting Komentar