Masyarakat madani,
konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang
pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya
pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival
istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar
Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar
Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah
sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat.
Menurut Quraish Shibab,
masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang
menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal
yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai
Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab
menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka
menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.
(Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat
Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur
masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal
ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan
petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar
ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat,
dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl
[16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani
Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau
peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat
lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak
meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak
melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap
kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan
akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang
(tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap
yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat
ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat madani adalah
sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada
nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan
demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
2.1 Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani”
merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang
yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan
dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk
masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah
dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil
society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat
sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir
dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang
Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai
negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari
pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang
ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan
otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry
Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan
Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat
madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar
menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern
akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil
society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah
modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans;
gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil
society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan
Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan
petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani
sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan
konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan
dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah
kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate
(1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere
of voluntary activity which takes place outside of government and the
market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
2.1.1 Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah
masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang
maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’
ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan
(Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
2.1.2 Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah
terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat
Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani
dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk
memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
2.1.3 Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
- Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
- Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat
dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
- Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
- Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
- Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
- Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
- Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
- Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
- Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
- Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
- Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
- Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
- Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
- Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut,
kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat
demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang
yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan
program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat
madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for
granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari
poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita
kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic
governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara
demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
- 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
- 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
- 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
- 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
- 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
- 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
- 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya
Tanpa prasyarat tesebut maka
masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani
akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering
melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu
yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat
DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat
menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang
bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme.
Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang
sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah
terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan
keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme.
Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok
dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan
sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi
karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas
budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden
(2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan
sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu
terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior
dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan:
individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu,
diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat
organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan
perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara
struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
3. Elitisme dan communalisme.
Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau
kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang
atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula
dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke
dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk
dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus
menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya
kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat
ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil
oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu
menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan
istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama
dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah
terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa
Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan
salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil
society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan
masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat
Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan
diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan
merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam
konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil,
memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan
bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat
perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat
bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai
landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama
ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut
(masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan
kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam
pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang
struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti
ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding,
Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara
keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas
terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan
hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling
memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi
pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah
apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka
negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson
menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan
spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang
merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam
masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi
sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin
ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita
konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari
Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung
me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya
justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan
agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil
tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan
masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid
Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas
(berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham
masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah
Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya
didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah
menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7).
Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki
hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi
Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di
Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa
menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya
bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia
merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap
ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat
madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan
secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan
arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang
terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai
cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan
rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di
Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat
madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para
pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan
hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah
sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah
(beradab).
Selang dua tahun pascahijrah
atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan
struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian
melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan
sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku,
ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan
lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya
ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama,
diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau,
pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan
Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT
(sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49)
ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas
merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran
Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan
umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga
merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas
(penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak
terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan
penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta
manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan
(ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan
catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap
terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap
toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap
saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai
sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish
Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata
mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring
dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah
dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif
dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub
dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip
demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada
wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga
terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat
Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya
menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan
sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal
tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang
dicita-citakan.
2.2 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa
Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi,
politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok
umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada
masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan
yang lain.
2.2.1 Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas
bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari
semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan
umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non
Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu
sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
2.2.2 Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum
mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan
global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang
signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi
karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran
yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum
Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak
Islam.
2.3 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua
kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah
berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara
seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan
ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan
demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima
dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran
Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak
milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam
mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui
bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara
khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak
milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan
sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat
dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok
orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada
sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan
untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam
memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah
sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya.
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota
masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai
dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak
atas sumbangan terhadap masyarakat.
Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam komitmen Islam yang khas
dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka
ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam.
Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang
harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada
masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan
pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.
Dalam ukuran tauhid, seseorang
boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan
penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya
harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya:
Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat
demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi
kepadanya pahala yang besar.
Dalam ajaran Islam ada dua
dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua
hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua
hungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
2.4 Manajemen Zakat
2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah memberikan harta
yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta
yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan haul
adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap
pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan
(nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan
zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat
berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.
Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fikih zakat
berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan
kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat merupakan
pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan
hati. Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:
Al-Baqarah: 110
Artinya:
“Dan Dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi
dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
Adapun hadist yang dipergunakan
dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
Dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia bersabda:
“Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh
karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka
taat kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka,
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka atas mereka salat lima kali
sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan itu, maka
beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka
taat kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang
teraniaya, karena sesungguhnya antara doa itu dan Allah tidak hijab
(pembatas)”.
Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.
3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4. Harta perdagangan.
5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.
Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:
1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4.
Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya,
diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama
Islam.
5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.
8. Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
2.4.2 Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memsuki Indonesia,
zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber sumber dana untuk
pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan
digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada
tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan
pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan
oleh penghulu atau naib sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan.
Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu,
pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta
membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan dampak yang sangat
negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena dengan
sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan
tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial
Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di
Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa
orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang
berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara
efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih
luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang
mendorong dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.
2.4.3 Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat
yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk
memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan
masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan
zakat, infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan
masyarakat. Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat
Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:
1. Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.
2.
Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.
3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
4. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:
1. Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan penderitaan.
2. Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4. Meningkatkan syiar Islam
5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
2.4.4 Hikmah Ibadah Zakat
Apabila prinsip-prinsip
pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan dipegang oleh amil
zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infak, dan sedekah
dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat fungsi
standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak maupun sedekah akan
tercapai.
Zakat memiliki hikmah yang
besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat muslim pada
umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka
berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh
yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.
Bagi mustahik, zakat memberikan
harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat
iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui
zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di
kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat muslim tidak
terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada
mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.
2.5 Manajemen Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk
dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi
berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga
berfungsi sosial. Wakf muncul dari satu pernyataan dan perasaan iman
yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Dalam
fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif
di kemudian hari, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya
akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan.
Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai
dalam pembangunan umat.
2.5.1 Pengertian Wakaf
Istilah wakaf beradal dari
“waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar disebutkan bahwa wakaf
ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau
dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan
sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh
dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang
meneriman wakafan), perorangan atau umum.
Abu Hurairah r.a. menceritakan,
bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia,
maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal,
yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya
yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.”
(Riwayat Muslim).
Abu Hurairah r.a. menceritakan
bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut zakat…… di dalam
hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan perabot
perangnya di jalan Allah.
2.5.2 Rukun Wakaf
Adapun beberapa rukun wakaf ialah:
1) Yang berwakaf, syaratnya:
- Berhak berbuat kebaikan walau bukan Isalam sekalipun
- Kehendak sendiri, ridak sah karena dipaksa
2) Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:
- Kekal zakatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak rusak.
- Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
3) Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
4) Lafadz wakaf, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin dan sebagainya.
2.5.3 Syarat Wakaf
Syarat wakaf ada tiga, yaitu:
1) Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
2) Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.
3) Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga
2.5.4 Hukum Wakaf
1) Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya karena Allah.
2)
Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan
ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum dan
walaupun bentuk bendanya ditukar dengan yang lain dan masih bermanfaat.
3) seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf karena bisa menimbulkan perasaan tidak ikhlas bagi pemberiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta.
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta.
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
0 komentar:
Posting Komentar