Makalah Bentuk Ungkapan Hadis Nabi Muhammad Saw
A. Pendahuluan
Secara realitas, Hadis Nabi di satu sisi telah menjelma menjadi sebuah
teks berbahasa Arab. Ia lahir dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh
karena itu, sangatlah wajar jika masyarakat Arab mampu memahami pesan
yang terkandung di dalam Hadis itu.
Di sisi yang lain, Hadis yang sekarang telah berbentuk tulisan yang
telah terkodifikasi, merupakan fenomena linguistik. Terlepas dari ini,
pernyataan di atas dapat dijadikan argumen bahwa kemampuan berbahasa
Arab menjadi salah satu syarat dalam memahami Hadis. Karena itu pula,
maka bahasa menjadi salah satu fenomena kajian yang sarat dengan
multi-interpretasi.
Ditinjau dari sisi bentuk bahasa matan, Hadis ada yang berupa jami’
al-kalim (ungkapan yang padat), tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik
(ramzi), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyasi) dan
lain-lain.
Dengan melihat beragamnya bentuk ungkapan Nabi, maka di bawah ini akan
dicoba dijelaskan maksud dari ungkapan-ungkapan di atas. Namun dalam hal
ini, hanya difokuskan pada pembahasan ungkapan simbolik, dialog, dan
analogi.
B. Bentuk Ungkapan Hadis Nabi
1. Ungkapan Simbolik
Secara bahasa, simbolik berarti simbol atau lambang. Sedang secara
istilah ilmiah, simbolik berarti gaya bahasa yang melukiskan suatu benda
dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau pelambang.
Selain ungkapan al-Qur’an yang terkadang memiliki bentuk ungkapan
simbolik, ungkapan Hadispun kenyataannya memiliki ungkapan demikian. Hal
ini dibuktikan dengan adanya ungkapan Nabi yang memakai simbol atau
lambang tertentu untuk melukiskan objek yang akan diungkapkannya. Namun,
pengakuan bahwa sebuah Hadis terkadang memiliki bentuk ungkapan
simbolik, telah menimbulkan pro-kontra pendapat. Bagi kelompok yang
memahami Hadis secara tekstual, cenderung kontra terhadap ungkapan
simbolik tersebut.
Sebagai contoh bentuk ungkapan simbolik dalam Hadis Nabi adalah sebagai berikut:
عن ابن عمر أن رسول ألله ص.م ذكر الدجال بين ظهرني الناس. فقال: ان الله
تعالى ليس بأعور. الا, وان المسيح الدجال أعورالعين اليمنى كأن عينه عنبة
طائفة. (رواه البخارى)
Dari Abnu Umar bahwa Rasulullah menyebut Dajjal di hadapan orang banyak.
Kemudian Rasul bersabda: “sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata.
Ketahuilah, bahwa Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedang matanya
seperti buah anggur yang timbul”.
Ungkapan yang menunjukkan bahwa Allah tidak buta sebelah mata, merupakan
bentuk ungkapan simbolik. Dalam ungkapan ini, Nabi berusaha menjelaskan
bahwa Allah tidaklah cacat seperti Dajjal, melainkan Allah Maha
Sempurna. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ungkapan Nabi tentang
“Allah tidak buta sebelah mata”. Hal ini jika dipahami secara tekstual,
maka bertentangan dengan prinsip dasar bahwa Allah suci dari segala
sifat yang manyamakan-Nya dengan makhluk . Oleh karena itu, kelompok
kontekstualis lebih memahami ungkapan ini sebagai bentuk “simbol” (bukan
makna sesungguhnya) yang digunakan Nabi untuk menjelaskan sesuatu.
Dengan demikian, ungkapan “mata Allah” oleh kelompok kontekstualis lebih
sesuai jika diartikan sebagai kekuasaan Allah.
Demikian juga dengan ungkapan “Dajjal itu buta matanya sebelah kanan”,
menurut kelompok kontekstualis, dinyatakan sebagai ungkapan simbolik.
Ungkapan semacam itu, oleh mereka diartikan sebagai keadaan Dajjal yang
penuh ketimpangan, para penguasa pada saat itu bersifat lalim, kaum
dhuafa tidak diperhatikan, amanah dihianati, dan berbagai kemaksiatan
lainnya telah melanda di tengah masyarakat.
Hal ini sangat berbeda dengan pandangan kelompok tekstualis. Kelompok
tekstualis lebih memahami keadaan itu –yakni bentuk mata Dajjal yang
buta sebelah kanannya- sebagai bentuk fisik Dajjal. Dalam berbagai kitab
penjelas Hadis, Dajjal adalah makhluk yang gambar fisiknya antara lain
sebagaimana yang disebut oleh berbagai matan Hadis.
Contoh kedua, peristiwa “turunnya Allah” ke langit dunia di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماءالدنيا حين يبقى ثلث الليل
الاخريقول: من يدعونى فأستجيب له من يسألنى فأعطيه من يستغفرنى فأغفرله.
(رواه مسلم)
Tuhan kita Allah tabaraka wa ta’ala setiap malam turun ke langit dunia
pada sepertiga malam terakhir. Allah berfirman: “barangsiapa yang berdoa
kepadaku, niscaya aku kabulkan doanya itu, barangsiapa yang meminta
sesuatu kepadaku, niscaya aku akan memberinya, barangsiapa yang meminta
ampun kepadaku, niscaya aku akan mengampuninya”.
Ketika Hadis di atas dipahami secara tekstual, maka akan tergambar bahwa
Allah melakukan aktifitas “naik turun” ke langit dunia ketika sepertiga
malam terakhir. Hal ini tentunya akan berakibat fatal karena menyamakan
Allah pada makhluk yang bisa naik turun. Oleh karena itu, ulama yang
memahami dengan model demikian (literal) cenderung menolak keotentikan
teks Hadis tersebut. Padahal seandainya jika mereka keluar dari
pemahaman yang literalis menuju pemaknaan kontekstual, akan tampak bahwa
sebenarnya makna Hadis tidaklah demikian, sehingga tidak langsung
mengatakan bahwa Hadis tersebut tidak lagi otentik karena merusak citra
Tuhan.
Secara kontekstual, makna “turunnya Allah” kelangit dunia diartikan
sebagai limpahan rahmat-Nya. Alasan yang dipakai ketika memilih waktu
sepertiga malam sebagai waktu turunnya Allah, adalah karena waktu
demikian merupakan saat-saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyuk
(tenang, damai) dalam beribadah dan berdoa, sehingga dengan keadaan
yang penuh kekhusyukan tersebut, kehadiran limpahan rahmat Allah mudah
tercapai. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa limpahan rahmat Allah
hanya terjadi pada sepertiga malam saja, melainkan turunnya rahmat Tuhan
sebenarnya tidaklah dibatasi waktu. Akan tetapi Nabi menyebut waktu
tersebut adalah dengan maksud menunjukkan kekhususannya dari waktu-waktu
yang lain.
Contoh ketiga, perbedaan bentuk usus orang mukmin dengan orang kafir. Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
المؤمن يأكل فى معى واحد. والكافريأكل فى سبعة أمعاء. (رواه الترمذى)
Orang beriman makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.
Makna Hadis di atas, -menurut paham kontekstual- sangat tidak mungkin
jika diartikan secara tekstual, karena jika demikian pemaknaan yang
dipakai, maka akan menimbullkan sebuah pemahaman bahwa usus orang
beriman berbeda dengan usus orang kafir. Hal demikian tentunya
bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Perbedaan bentuk tubuh
manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Oleh sebab itu, ungkapan
Hadis di atas merupakan ungkapan simbolik yang mengharuskan dipahamai
secara kontekstual.
Pemahaman terhadap perbedaan bentuk usus, secara kontekstual dinyatakan
sebagai perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah,
termasuk ketika makan. Orang beriman memandang makan bukan sebagai
tujuan hidup, sedangkan orang kafir menempatkan makan sebagai bagian
dari tujuan hidup. Di samping itu, dapat dipahami juga bahwa orang
beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk ketika
makan, sedangkan orang kafir mengingkari nikmat yang dikaruniakan Allah
kepadanya.
2. Ungkapan Percakapan (dialog)
Berdasarkan sebuah fakta, bahwa Nabi bukanlah manusia terasing yang
hidup di lingkungan tertentu, melaikan Nabi hidup membaur di
tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya dan pengalaman baik agama
maupun keduniawian yang berbeda. Oleh karena itu, tidaklah heran jika
banyak dijumpai Hadis-hadis yang matannya menunjukkan “gaya bahasa
dialog” dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Sebagai contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa Hadis yang berisi ungkapan dialog tersebut.
أن رجلا سأل النبي ص.م: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرأالسلام على من عرفت ومن لم تعرف. (رواه النساء)
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam manakah yang
lebih baik?”, Nabi manyawab: “kamu memberi makan orang yang membutuhkan,
dan kamu mengucapakam salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak
kamu kenal”.
Dalam ajaran Islam yang universal, memberi makan orang yang membutuhkan
dan mengucapkan salam baik pada yang dikenal maupun tidak dikenal,
merupakan sebuah amalan yang baik. Namun dalam hal sebagai “amalan yang
lebih baik” agaknya hal ini hanya bersifat “temporal”. Hal ini
disebabkan adanya beberapa matan Hadis yang memiliki problem sama,
tetapi solusi yang diberikan Nabi berbeda-beda, sesuai dengan keadaan
“lawan bicara”.
Problem ini tampak dari adanya Hadis “amalan yang lebih baik” yang
memiliki solusi yang berbeda sebagaimana tersebut di bawah ini:
قالوا: يارسول الله, أي الاسلام أفضل؟ قال: من سلم المسلمون من لسانه ويده. (رواه احمد)
Para sahabat Nabi bertanya: “Ya Rasulullah, amalan Islam manakah yang
lebih utama?”, Nabi menjawab: “yaitu seseorang yang tidak menganiaya dan
mengolok atau menggunjing kaum muslim”
Demikian pula pertanyaan dengan problem sama, namun solusi yang diberikan berbeda, sebagaimana berikut ini:
أن رسول الله ص.م سئل: أي الاسلام أفضل؟ فقال: امان بالله ورسوله. قيل: ثم
ماذا؟ قال: الجهادفى سبيل الله. قيل: ثم ماذا؟ قال: حج مبرور. (رواه مسلم)
Bahwa Nabi ditanya oleh sesorang: “Amal apakah yang paling utama?” Nabi
menjawab: “beriman kapada Allah dan Rasul-Nya”. Nabi ditanya lagi:
“kemudian apa lagi?”, Nabi manjawab: “jihad di Jalan Allah”, Nabi
ditanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi menjawab: “Haji mabrur”.
Selanjutnya, dijumpai pula pertanyaan dengan problem sama, namun solusi berbeda, sebagaimana berikut:
عن عبدالله بن مسعود قال: سألت النبي ص.م: أي العمل أحب الى الله؟ قال:
الصلاة على وقتها. قال: ثم أي؟ قال: بر الوالدين. قال: ثم أي؟ قال:
الجهادفى سبيل الله. قال: حدثنى بهن ولواستزدته لزادنى. (رواه البخارى)
Dari Abdullah Ibn Mas’ud, dia berkata: “saya bertanya kepada Nabi,
amalan apa yang labih disukai Allah?” Nabi menjawab: “shalat pada
waktunya”, bertanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi menjawab: “berbakti
kepada kedua orang tua”, bertanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi
menjawab: “jihad di jalan Allah”, Ibn Mas’ud berkata: “Nabi telah
mengemukakan padaku tentang amal-amal utama itu, dan seandainya saya
minta ditambahkan lagi, niscaya beliau menambahkan lagi (untuk memenuhi
permintaan saya itu)”.
Berdasarkan empat fakta Hadis di atas, dapat dipahami bahwa solusi yang
diberikan Nabi terkait problem pertanyaan yang sama sangatlah
berbeda-beda. Di samping itu, dapat dipahami pula bahwa sebuah
pertanyaan yang memiliki maksud yang sama ternyata jawaban yang
diberikan dapat saja berbeda-beda.
Menurut M. Suhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah
bersifat substantif. Sedang yang substantif hanya memiliki dua
kemungkinan, pertama: relevansi antara keadaan orang yang bertanya
dengan materi jawaban yang diberikan. Kedua, relevansi antara kelompok
msayarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan.
Kemungkinan yang disebut kedua, mempertimbangkan bahwa jawaban Nabi
merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang keseharian mereka
menunjukkan gejala yang perlu diberikan bimbingan dengan menekankan
perlunya dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Bagi yang bertanya, hanya
berfungsi sebagai “wakil” dari keinginan untuk memberikan bimbingan
kepada kelompok masyarakat tertentu.
3. Ungkapan Analogi
Di samping ungkapan simbolik atau dialog, Hadis Nabi pun memiliki bentuk
ungkapan Analogi. Analogi secara bahasa diartikan sebagai kesamaan,
keserupaan, atau perbandingan. Sedang menurut istilah, ialah
perbandingan secara kias dengan bentuk yang sudah ada. Dalam ungkapan
analogi tersebut, terlihat adanya hubungan ungkapan yang sangat logis.
Salah satu bentuk “nalar logis” yang biasa dipraktikkan Nabi dapat
dijumpai, sebagaimana contoh Hadis berikut.
Ketika ada seorang laki-laki dari bani Fazarah mengadu kepada Nabi.
Lelaki tersebut berkata: “sesungguhnya istri saya telah melahirkan
seorang anak laki-laki, kulitnya hitam. Saya menyangkalnya (karena
kulitnya berbeda sekali dengan kulit saya)”. Dari pertistiwa itu,
terjadilah dialog antara Nabi dan lelaki tersebut. Dialog tersebut
sebagaimana yang terekam dalam sebuah Hadis:
قال: هل لك من ابل؟ قال:نعم, قال: فماالوانها؟ قال:حمر.قال:هل فيها من
اوراق؟ قال: ان فيهالورقا. قال: فانى ترى ذلك جاءها.قال: يا رسول الله عرق
نزعها. قال: ولعل هذاعرق نزعه ولم يرخص له فى الانتفاء منه. (رواه ابن
ماجه)
Nabi bertanya: “apakah kamu mempunyai unta?”, lelaki tersebut menjawab:
“ya”. Nabi bertanya lagi: “apa warna untamu itu?”, lelaki tersebut
menjawab: “merah”, Nabi bertanya lagi: “apakah (mungkin untamu itu) dari
(keturunan unta) yang berkulit abu-abu?”, lalaki tersebut menjawab:
“sesungguhnya (dapat saja) unta itu berasal dari (unta yang) berkulit
abu-abu”. Nabi bersabda: “maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa
unta merah milikmu itu) berasal dari (unta yang berkulit abu-abu
tersebut)”, lelaki itu berkata: “Ya Rasul, keturunan (unta merahku itu)
berasal darinya (yakni unta abu-abu tersebut)”. Nabi lalu menyatakan:
“(masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal juga dari
keturunan (nenek moyang)nya; dan (nenek moyang anakmu yang kulit hitam)
tidaklah menurunkan keturunan yang menghilangkan (tanda-tanda keturunan)
darinya.
Dalam Hadis di atas, terlihat bahwa Nabi tidak memberikan jawaban secara
langsung. Akan tetapi, Nabi menggunakan pernyataan analogi, sehingga
mengharuskan seorang lelaki tersebut berfikir dan menemukan jawaban dari
proses berfikirnya tersebut. Inilah sebenarnya salah satu keistimewaan
Nabi, yakni tidak langsung memberikan jawaban secara instan, melainkan
memberikan kesempatan seseorang untuk melatih fikiran agar tidak
cenderung “manja” dan mematikan potensi akal.
DAFTAR PUSTAKA
- Bakr, Sayyid Salih Abu. Tt. Menyingkap Hadis-hadis Palsu, terj Muhammad Wakid. Surakarta: Mutiara Solo.
- Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-. 1998. Sahih al-Bukhari, Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.
- Dawud, Abu. 1998. Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar Ibn Hazm.
- Hajjaj, Abu al-Hasan Muslim bin al-. 1992. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr.
- Hambal, Abu Abdullah Ahmad Ibn. 1978. Musnad Ahmad Ibn Hambal, Beirut: al-Maktab al-Islami.
- Ismail, M. Syuhudi 1993. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.
- -----------, 1994. Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang.
- Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid ibn. Tt. Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr.
- Nasa’i, Abu Abd al-Rahman Ahmad al-. tt. Sunan al-Nasa’i, Beirut: Dar al-Fikr.
- Partanto, al-Barry, Pius A. dan M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola.
- Syadali, Rafi’i, Ahmad. dan Ahmad. 2006. Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia.
- Syafruddin, U. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual; Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Tirmidzi, Abu Isa Muhammad Bin Isa al-. 1978. Sunan al-Tirmidzi, .tk: Matbaah Mustafa al-Babi al-Halabi.
- TOT PSQ dan STAIN Surakarta. 2008. Pola Interaksi dengan al-Qur’an dan Sunnah, Solo: tp.
- Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 708.
0 komentar:
Posting Komentar