etika republik ini telah mendekati usia
67 tahun pada Agustus nanti, maka yang terpikir dalam benak rakyat kecil
adalah mengapa di alam kemerdekaan yang telah di-enyam selama 67 tahun,
nasib petani kita sebagian besar masih tidak beranjak dari keterpurukan
yang menderanya? Padahal kita masih mengklaim sebagai negara agraris
dimana sebagian besar rakyatnya masih berprofesi sebagai petani.
Petani sebagai pembisnis
Sebagian petani masih terkungkung dalam
keyakinan diri bahwa sebagai petani mengemban sebagai penyandang status
sosial yang rendah dan tidak berani memposisikan dirinya sebagai seorang
pembisnis/pengusaha. Cibiran dan perlakuan masyarakat luas yang
memposisikan petani sebagai kelas bawah mau tak mau dan secara tak
disadari telah membuat para petani menjadi kurang percaya diri dalam
pergaulan. Kata yang terlontar seperti saya hanya seorang petani,
apalagi di Jawa Tengah petani selalu identik dengan orang yang memakai
penutup kepala Caping dan membawa peralatan cangkul dsb semakin
memperkuat posisi petani sebagai masyarakat kelas bawah.
Dalam setiap pertemuan dengan petani di
daerah pelosok di kawasan Indoensia Timur, masih sering dijumpai ketika
ditanya apakah ada disini yang pengusaha, maka tidak ada seorang
petanipun yang mengaku dirinya pengusaha, padahal kita semua tahu bahwa
berprofesi sebagai petani juga sebagai pengusaha dibidang pertanian.
Cap yang melekat lama sejak jaman kolonial harus segera dihapus dan digantikan dan perubahan image petani yang kolot, tertinggal dan sebagai kelas terendah harus digantikan dengan citra petani sebagai pengusaha/pembisnis yang tak kalah dengan profesi lainnya. Maka dalam pendampingan kepada petani, yang perlu juga difasilitasi oleh pemerintah maupun pihak lainnya bukan hanya masalah teknis semata seperti budidayanya, tetapi juga bagaimana strategi agar mereka bisa keluar dari pola pikir lama menuju pola pikir baru sebagai pembisnis.
Cap yang melekat lama sejak jaman kolonial harus segera dihapus dan digantikan dan perubahan image petani yang kolot, tertinggal dan sebagai kelas terendah harus digantikan dengan citra petani sebagai pengusaha/pembisnis yang tak kalah dengan profesi lainnya. Maka dalam pendampingan kepada petani, yang perlu juga difasilitasi oleh pemerintah maupun pihak lainnya bukan hanya masalah teknis semata seperti budidayanya, tetapi juga bagaimana strategi agar mereka bisa keluar dari pola pikir lama menuju pola pikir baru sebagai pembisnis.
Petani yang kritis dan inovatip
Menjadikan petani kritis telah diupayakan
melalui berbagai pemberdayaan dan pengorganisasian petani yang
tergabung dalam berbagai organisasi seperti serikat petani, koperasi
tani maupun asosiasi. Namun memang tidak mudah mengajak petani bersatu
meski semua orang tahu betapa dasyatnya kekuatan petani yang bersatu
sehingga banyak pihak yang tidak senang kalau petani bersatu dan kuat.
Indonesia yang sebagian besar masih berprofesi sebagai petani namun
dalam kenyataan alokasi dana APBN yang diperuntukkan petani masih tidak
sebanding dan masih sangat kecil yang menunjukkan kurang berpihaknya
pemerintah sebagai pelayan petani. Hal ini juga tidak lepas dari masih
sangat terbatasnya anggota legislatip yang berlatar belakang dan
berprofesi sebagai petani sehingga wajar jika mereka hanya diwakili oleh
yang mengaku sebagai petani. Bahkan ironis ketika HKTI sebagai salah
satu organisasi yang mewakili kepentingan petani dan nelayan justru
dipimpin oleh pengusaha dan purnawirawan jenderal. Kondisi sebagian
besar petani yang masih mudah dipermainkan oleh kepentingan politik
praktis telah menjadikan dirinya hanya diperhatikan ketika suaranya
dibutuhkan dalam pemilu maupun pilkada
Agro-industri hanya wacana
Meski telah berunglangkali dalam berbagai
seminar direkomendasikan pentingnya membangun agroindustri, namun dalam
kenyataan kita masih melihat betapa banyak hasil sayuran dan
buah-buahan terbuang percuma dan yang paling menyakitkan ketika harganya
menjadi jatuh hanya karena tak mampu diproses lebih lanjut menjadi
hasil olahan industri. Di Jawa Timur pernah terjadi harga rambutan
sekilo hanya Rp 500 sehingga petani tidak mau memanen karena tidak dapat
membayar upah petik dan membiarkan buah busuk di pohon. Di Flores
pernah buah alpokat hanya diberikan kepada babi karena tidak lagi punya
nilai jual, demikian pula buah nenas yang hanya dibiarkan busuk di
lahan. Sementara kita tahu di tempat lain masih kekurangan pasokan buah
dan harganya masih layak terutama didaerah wisata dan hotel-hotel
berbintang. Sungguh sangat menyakitkan ketika kita melihat begitu
melimpah buah impor dengan harga sangat murah dan jekas memukul petani
kita. Tidak hanya buah segar, buah-buahan yang telah dikalengkan juga
membanjiri pasar kita, sementara produsen buah-buahan kita hanya bisa
pasrah melihat kenyataan ini. Lalu dimana keberpihakan pemerintah
terutama departemen terkait sebagai pelayan publik dalam melindungi
kepentingan petani dari gempuran globalisasi? Kita sebenarnya dapat
belajar dari sesama anggota ASEAN seperti Thailand yang mampu
mengembangkan Agro-industri sehingga produk petani dan nelayan tidak
terbuang percuma. Daripada dana hanya digunakan untuk plesiran dengan
alasan studi banding keluar negeri, maka DPR dapat mengupayakan agar
alokasi APBN untuk pertanian ditingkatkan prosentasinya sehingga
sumbangan dari ekonomi hijau dapat semakin meningkat dan sifatnya yang
terbarukan membuat pendapatan dari sektor pertanian dalam arti luas
dapat berkelanjutan
Koperasi petani yang terabaikan
Meski republik ini memiliki departemen
yang khusus menangani koperasi, namun bukan berarti dengans sendirinya
kemajuan koperasi menjadi pesat, meluas dan merakyat. Pengalaman pahit
dengan gerakan koperasi dijaman ORBA menjadi gerakan ku-perasi yang
penuh dengan korupsi dan manipulasi melalui KUD dan program KUT telah
membuat banyak petani menjadi kurang percaya lagi dengan gerakan
koperasi di tingkat petani. Kepengurusan yang lemah dan penuh dengan
intervensi dari luar telah menjadikan sebagian koperasi tani menjadi
bangkrut, meski tidak dipungkiri ada sebagian kecil koperasi tani yang
telah berkembang dengan omzet milyaran rupiah dan yang sangat menarik
untuk dikaji mengapa koperasi ini tetap survive dan mampu bertahan dalam
arus pusaran globalisasi. Padahal kita tahu dengan berkoperasi petani
dapat memasarkan hasil secara bersama sehingga posisi tawar dan nilai
jual produknya dapat meningkat. Belum lagi dengan berkoperasi sebagai
unit bisnisnya asosiasi petani, para petani tidak hanya bertindak
sebagai produsen saja yang hanya berkutat dibagian hulu yakni bagaimana
meningkatkan dan menstabilkan produksi baik secara kuantitas, kualitas
maupun kontinyuitasnya, tetapi sekaligus petani bertindak sebagai
pemasar bagi produknya. Selain itu dengan adanya koperasi, anak-anak
petani yang berpendidikan dapat menjadi pengurus init dan manajernya
karena mereka mempunyai pendidikan yang cukup sehingga mereka dapat
dipercaya dan tidak mungkin mengkorup milik orang tua atau saudaranya
sendiri. Sudah saatnya ekonomi rakyat harus diterapkan tidak hanya
diomongkan saja dengan jargon dan pencitraan seolah-olah kebijakan
ekonomi nasional yang diambil adalah pro-petani namun dalam kenyataan
tidak pernah dapat dibuktikan. Koperasi seharusnya menjadi soko guru
perekonomian nasional karena peran koperasi sangat besar apabila diberi
kesempatan dan tidak digilas dan dilindas oleh kepentingan kaum pemodal
kuat. Jalan-jalan usaha tani di desa dapat diserahkan pembangunannya
pada koperasi yang berperan sebagai pemborong dan mengerahkan anggotanya
sebagai tukang dan tenaga kerja sehingga perputaran uang di daerah
menjadi lebih banyak. Koperasi juga dapat diminta untuk menjadi penyalur
kredit dan pemborong bagi perbaikan maupun pembangunan rumah anggotanya
yang dikerjakan secara gorong royong padat karya sehingga dapat
menghemat dana dan menciptakan lapangan kerja yang jumlahnya tidak
sedikit. Masih banyak peran yang dapat dimainkan oleh koperasi asal
koperasi yang didirikan benar-benar didasari solidaritas dan kejujuran
yang didukung oleh sistem pengelolaan yang transparan, akuntabel dan
didasari semngat untuk saling menolong satu dengan lainnya yang saat ini
semakin tergerus dan hampir punah.
Jadi sangatlah aneh dan mengherankan jika
petani yang dilayani oleh berbagai layanan publik dari berbagai
departemen seperti Dep.Pertanian, Kehutanan, Koperasi, Perindustrian dan
Perdagangan, dll masih saja hidupnya terpuruk. Ada yang salah dalam
filosofi membangun kemandirian petani dimana masih banyak pihak
mengangap bahwa persoalan petani adalah persoalan kekurangan dana untuk
pembanunan prasarana, sarana dan memperkuat modal petani. Yang paling
penting untuk emmabngun kemandirian petani adalah merubah pola pikir
dari produsen saja menjadi petani pembisnis yang selalu berhitung
untung-rugi, melihat kebutuhan pasar dalam merencanakan usahanya,
mempunyai jiwa bisnis yang tinggi, kemampuan manajemen usaha yang baik,
memiliki kecerdasan finansial sehingga tidak bergaya hidup boros dan
terjebak hutang namun mampu mengelola pendapatannya untuk selalu
meningkatkan aset/kekayaannya dan tidak hanya habis untuk membiayai
kegiatan sosial semata. Sudah saatnya menjadikan petani Indoensia yang
bekerja cerdas (smart), bekerja keras namun tetap tidak kehilangan rasa
solidaritas sebagai kaum tani yang akan terus eksis, dihargai dan diakui
sebagai profesi yang terhormat dalam turut menjaga kedaulatan pangan
bagi seluruh Bangsa Indonesia sebagai bagian dari meningkatkan ketahanan
nasional kita. Tabik.
0 komentar:
Posting Komentar